Selekta Pop: Cipta Nada Perjalanan Dua Dekade Club Eighties

Selekta Pop: Cipta Nada Perjalanan Dua Dekade Club Eighties

Membahas kata “Club” yang tersemat hingga saat ini, bukanlah tanpa alasan. Berasal dari band '80-an, Culture Club yang terkenal dengan vokalisnya yang flamboyan dan androgenous; Boy George. Club Eighties sering membawakan lagu dari band asal Inggris ini. Sedangkan “Eighties” muncul dari impian untuk memiliki sebuah klub malam yang berbau '80-an.

Bukan tanpa alasan Henry ’Betmen’ mengumpulkan rekan-rekan lain menjadi Club Eighties. Henry merasa bosan dengan format musik di lingkup IKJ saat itu yang sedang doyan membawakan music era '70-an. Sebagai tandingan yang diikuti dengan kecintaannya terhadap music '80-an, gayung bersambut, Desta yang menggemari Duran-Duran mengiyakan dan Henry pun mulai menyeleksi calon-calon personel berdasarkan fisik. Perkara skill urusan belakangan, yang terpenting tampil dulu. “Kalau band harus ganteng neh orang-orangnya. Walaupun gak ganteng-ganteng amat sih. Biar memble asal kece. 80’s berat,” ujar cucu pencipta komik silat terkenal Koo Ping Hoo dilansir dari jurnalin.wordpress.com.

PS: Sebagai catatan, musisi era 80-an memang mayoritas berdandan dan berparas ‘cantik’. Tak terkecuali walaupun laki-laki, yang perempuan lebih hebat lagi. Androgini, bias gender, baju berwarna kontras seperti hijau stabilo, merah muda magenta, kuning terang dan warna-warna lain yang menyala. Jas besar, celana longgar sedikit baggy, glitter, gincu merona, eyeliner tebal dengan tatanan rambut mullet, bergelombang, sasak tinggi atau sekedar mop top. Minim maskulinitas, cenderung maksimal sisi feminimnya.

Totalitas. Kata yang tepat. Pertama kali manggung, semua properti dari make up hingga kostum layaknya musisi '80-an. Semuanya disuguhkan untuk menampilkan sesuatu yang berbeda. Sedikit satir, komedi, kelucuan lengkap sudah. Hal ini terbawa hingga lima album berhasil dirampungkan.

“Lembu didandanin abis kayak Boy George (vokalis band '80-an,Culture Club, yang bergaya feminin), cantik banget! Kita semua juga tampil yang norak-norak gitu. Kita mau bikin kejutan buat penonton. Pas kita keluar, ternyata bukan (giliran) kita yang main. Jadi, terpaksa mundur. Terus, kita diketawain anak-anak, ‘Ha..ha..ha… Ikang Fawzi!’” kenang Henry yang dikenal sebagai DJ Robot berkelakar.

Kostum, aksi panggung dan kembali soal totalitas kemudian saya kutip dari salah satu posting-an Club Eighties, jauh sebelum riuh rendah Duckdown Jakarta dan bar-bar setipe yang seketika menjamur di bilangan Senopati, di lorong-lorong PD. Pasar Jaya Pasar Rumput Manggarai, ada Kafe/Bar Dangdut Sinagar. Kafe paling temaram se-Jakarta Selatan. Tempat yang dipilih Club Eighties di kemudian hari untuk menjadi lokasi shoot video klip kedua.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner