Sang Pelopor, Mr. Harry Lim. Hands Down, and Thank You! (Bagian Lima)

Sang Pelopor, Mr. Harry Lim. Hands Down, and Thank You! (Bagian Lima)

Hands Down to Mr. Harry Lim, and Thank You!

Hasil karya Harry terus berkumandang di dunia dan menjadi menjadi saksi penting keberadaan dan status beliau di peta sejarah jazz. Tak terhitung sudah berapa kali hasil karya Harry untuk label Keynote diterbitkan ulang dalam berbagai bentuk, dari piringan hitam, pita, CD, sampai bentuk digital download. Demikian pula dengan karya beliau untuk label Famous Door. Bersumber dari tulisan "Harry Lim dan Peta Sejarah Jazz Indonesia Menuju Patung Liberty", hadri jalinan kerja sama dengan George H. Buck Jr. dari Jazz Foundation di New Orleans untuk menerbitkan ulang seluruh katalog Famous Door dalam bentuk CD.  

Merentang jauh sebelum Bung Karno – Bung Hatta memproklamirkan Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelum Sumpah Pemuda bergaung oleh para perintis kemerdekaan di salah satu ruangan Jalan Kramat Raya No. 106 Batavia (Jakarta Pusat) – Jazz sudah terlebih dahulu menggema di beberapa wilayah bumi pertiwi.

Kita mafhum betul, seorang pemuda cungkring berkacamata – tokoh nasional penggesek biola ketika Sumpah Pemuda berlangsung adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia Raya – WR Soepratman. Tetapi, tahu tidak jika beliau yang beruntung mati muda itu sebagai musisi pemimpin grup musik jazz bernama Black and White yang sempat muncul di Makassar pada tahun 1920-an? Belum lagi jika menyebut Melody Makers, sebuah kelompok jazz di Jakarta pada 1930-an, yang dipimpin Jacob Sigarlaki, peniup saksofon asal Sukabumi. Pada waktu itu, orang-orang Belanda sudah bergumul mesra dengan warga Indo untuk bermain jazz. Pada masa yang hampir bersamaan, di Yogyakarta dan Solo lebih berkembang musik klasik yang disemaikan di lingkungan Keraton. Tak heran bahwa sebenarnya orang Jawa pada paruh pertama abad ke-20 sudah banyak yang pandai memainkan karya-karya Eropa Barat, bahkan yang tergolong sulit sekalipun, seperti Sonata dan Konserto. Jazz baru muncul di Yogyakarta konon tahun 1948.

Jika ingin menyebutkan satu persatu, era 1940-an ditandai lewat terlahirnya Jolly Strings yang dipimpin Hein Turangan. Hiruk pikuk jazz pada tahun 1940-an boleh dikata sebagai percontohan terbaik dalam rekam jejak sejarah jazz di Indonesia. Terukur dari praktek produktivitas berkarya, tetapi kegiatan kritik musik yang dipelopori oleh Harry Lim—ia secara rutin mengadakan diskusi rutin tentang jazz di Triangon, Jakarta. Meski akhirnya terputus ketika Harry Lim hijrah ke Amerika, dan kemudian tahun 1970-an dibangkitkan kembali oleh tokoh jazz ciamik pada eranya, seperti Jim Espehana dan Bambang Rianto.

Nama-nama seperti Jack Lesmana, Didi Pattirane, Bill Saragih, Bob Tutupoly, Bubi Chen, Ireng Maulana, Nick Mamahit, Mus Mualim, Maryono, Embong Raharjo, Margie Sergers, Benny Likumahuwa, Christ Kayhatu, Yance Manusama, Jopie Item, Karim Suweileh, Fariz RM, Candra Darusman, Erwin Gutawa, Indra Lesmana, Gilang Ramadhan adalah tokoh-tokoh jazz lintas generasi pada masa sesudah kemerdekaan dan optimisme bermusik era Orba, meski corong senjata dan represif pemerintahan kala itu tidak kalah bengis dibanding masa jajahan. Tahun 1990-an, ada cita karya dari Modulus, The Groove, Bunglon, Sinikini, Humania, Tohpati —dan hingga musisi-musisi masa kini macam, Maliq and D’Essentials, Ecoutez, SORE, Mocca, WSATCC, Ikkubaru, Tika and The Dissidents, Sisitipsi, Barry Likumahuwa, dan masih banyak lagi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner