Polemik Lagu-Lagu Hits, Disayang Atau Dibuang?

Polemik Lagu-Lagu Hits, Disayang Atau Dibuang?

Sumber foto: http://www.georgielehoop.com

Keberadaan sebuah lagu hits melahirkan satu pertanyaan: apakah band-band yang identik dengan sebuah lagu “jagoan” nya mau menghapus lagu tersebut?

Pada sebuah konser di Montreal, Kanada, Thom Yorke, vokalis band Radiohead membatalkan permintaan penggemar untuk memainkan lagu “Creep”. Bahkan Yorke mencerca penonton dan mengatakan "f*ck off, we're tired of it!". Hal senada juga diutarakan sang gitaris, Jonny Greenwood, yang juga mengaku tidak suka dengan lagu itu. Bahkan, dia pernah mencoba menyabotase lagu tersebut dengan memainkan gitar sangat keras, ketika proses rekaman lagu “Creep”. Sampai akhirnya, lagu “My Iron Lung”, yang dirilis pada tahun 1994, seakan menegaskan betapa Radiohead sudah ingin move on dari lagu “Creep”.

Serupa dengan Jonny yang tidak suka dengan lagu “Creep”, gitaris Pure Saturday kala itu, Adi, juga tidak suka dengan lagu “Kosong”. Ini ditunjukan dengan pola permainan gitarnya, yang diakui olehnya jika dia bermain asal, dengan tujuan ingin “merusak” lagu “Kosong” tersebut. Namun yang terjadi malah sebaliknya, baik itu lagu “Creep” maupun lagu “Kosong”, keduanya malah sukses besar di pasaran, dan menjadikan kedua band tersebut identik dengan kedua lagu itu.

Dari dua kejadian tersebut melahirkan satu pertanyaan, apakah band-band yang identik dengan sebuah lagu “jagoan” nya mau menghapus lagu tersebut? Sedangkan penggemar ingin mendengarkan lagu itu dimainkan berulang-ulang. Radiohead sendiri hampir sepuluh tahun tidak membawakan lagu “Creep” di atas panggung. Lalu apakah band-band lokal disini mau mengikuti apa yang Radiohead lakukan? Seperti misalnya, apakah lagu “Desember” akan hilang di setlist kala Efek Rumah Kaca manggung? Atau, apakah Pure Saturday mau menghilangkan lagu “Kosong” dalam penampilannya di atas panggung?

Hadirnya lagu-lagu tersebut pada prakteknya bisa membentuk mood yang bagus untuk penonton, yang mungkin hanya tahu band-band itu dari satu lagu hits nya saja. Sehingga kala mereka membawakan lagu lain, yang mungkin kurang populer, penonton merasa tidak terlibat secara “chemistry”, karena ada gap antara si penonton dan lagu yang dinilai kurang populer tersebut. Menariknya lagi, secara psikologis, baik itu seorang musisi atau band, akan mengalami progres dalam bermusiknya. Hal ini diaplikasikan dalam bentuk eksplorasi musikal, yang mungkin asing bagi pendengarnya. Bahkan lebih jauh dari itu, sang penggemar tidak sedikit yang kesulitan mencerna lagu baru, hasil eskplorasi musikal sebuah band, yang mungkin sudah melampaui pola musik di awal karir mereka.

Bagi yang menggemari lagu “Creep”, mungkin akan kesulitan mencerna pola musik yang dihadirkan Radiohead di album The King Of Limbs contohnya. Begitu pun dengan album Sinestesia ataupun album Grey, milik Efek Rumah Kaca dan Pure Saturday, di mana kedua album itu mengalami progres signifikan dibanding album-album awal mereka. Bagi penggemar lagu “Desember” misalnya, mungkin akan kesulitan mencerna materi lagu-lagu di album Sinestesia, baik itu secara aransemen musik, maupun pola mereka membagi lagu jadi beberapa babak, yang dihadirkan dari dua sisi, seperti "Ada" dan "Tiada" di lagu “Putih”.

Secara kreativitas bermusik, Efek Rumah Kaca “naik kelas” lewat album Sinestesia, sedangkan dari sisi pendengar mungkin akan berbeda, ketika itu diartikan dari sisi lagu yang mudah dicerna, dengan nada-nada ringan dan balutan aransemen minimalis seperti lagu “Desember”. Hal inilah yang mungkin membuat jarak antara Efek Rumah Kaca dengan penonton kala mereka manggung, sehingga lagu “Desember” lagi-lagi diminta untuk dimainkan, mungkin hanya sebatas memenuhi keinginan penonton untuk bisa sing along saja saat Efek Rumah Kaca menggelar konser.

BACA JUGA - Melirik Hal Esensial Mocca Lewat Lima Album Konseptual

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner