Dua Band Ini Menangkap Estetika Lagu Daerah Dalam Musiknya

Dua Band Ini Menangkap Estetika Lagu Daerah Dalam Musiknya

Sumber foto : https://upload.wikimedia.org

Ketika peran bahasa dihubungkan dengan entitas suatu daerah, maka perannya menjadi penting, karena punya nilai historis tersendiri yang dituangkan dalam lagu tersebut.

Bahasa adalah identitas. Penerapannya bisa jadi identitas sebuah wilayah atau daerah. Hal itu sangat terasa, terutama di Indonesia, dengan jumlah suku yang beragam, dan bahasa daerahnya masing-masing. Lalu ketika itu dihubungkan dengan musik, peran bahasa menjadi penting ngga penting, tergantung dari sudut mana melihatnya. Jika itu dihubungkan dengan suatu interpretasi terhadap sebuah lagu, peran bahasa bisa jadi tidak begitu penting, karena musik memiliki bahasa universal. Misalnya saja ketika sebuah lagu berbahasa mandarin contohnya, lalu didengarkan oleh orang Inggris. Jika secara penyajian itu dikemas dengan aransemen dan komposisi yang menarik, maka lagu itu akan bisa diterima, meskipun orang itu tidak mengerti lirik lagu tersebut.

Namun jika peran bahasa dihubungkan dengan entitas suatu daerah, maka perannya menjadi penting, karena ada nilai-nilai histroris tersendiri yang dituangkan dalam sebuah lagu. Disini peran bahasa menjadi ruh lagu tersebut. Dan tidak bisa diganti dengan bahasa lain, karena secara estetika akan berbeda. Hal ini ditangkap oleh beberapa orang musisi dan band, yang menyajikan lagu-lagu daerah dengan warna musiknya masing-masing, namun tetap menggunakan bahasa asli daerah tersebut. Dari mulai band White Shoes And The Couples Company (selanjutnya ditulis WSATCC), sampai Seringai.

Band-band tersebut tertarik menyajikan kembali lagu-lagu daerah lewat musiknya. Seperti band WSATCC yang merilis mini album khusus lagu-lagu daerah. Seperti dilansir dari laman blog https://dennysakrie63.wordpress.com. Mereka merekonstruksi komposisi lagu-lagu daerah, yang sempat menjadi bagian utama khazanah musik pop Indonesia, pada paruh era 50an dan 60an. WSATCC merilis mini album ini bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, pada tanggal 20 Mei 2013, yang berisikan lima lagu yaitu: "Jangi Janger", "Tjangkurileung", "Te O Rendang O", "Lembe-Lembe", dan "Tam Tam Buku". Secara khusus sebagian besar proses perekaman mini album ini dilakukan di studio Lokananta, Solo, secara live, pada tanggal 25-28 Oktober 2011. Ini adalah tribut yang dilakukan White Shoes and The Couples Company untuk masa kejayaan musik pop Indonesia, di era paruh 50an hingga 60an, dan tentunya, Lokananta, perusahaan rekaman milik pemerintah yang berada di Solo. Kumpulan rekaman ini ibarat buku jurnal pengalaman mereka dalam menghidupi kembali ruh era emas musik pop Indonesia.

Sedangkan band Seringai, membawakan lagu “Lissoi”, yang berasal dari Tanah Batak, Sumatera, dan diciptakan oleh Nahum Situmorang, seorang pencipta lagu-lagu batak yang sangat legendaris. Berbeda dengan WSATCC, Seringai tidak dalam misi yang muluk, ketika memutuskan membawakan lagu daerah dari tanah batak tersebut. Lagu daerah ini dirasa sejalan dengan spirit yang kerap dibawa oleh Seringai, tentang pesta pora dan menikmati hidup. Lagu “Lissoi” sendiri, jika dilihat dari arti lirik lagunya, berkisah tentang kebiasaan orang-orang batak berkumpul, yang dihiasi dengan minum-minum sebagai pelepas penat, dan bersenda gurau, bergembira bersama dengan botol minuman. Hal ini dirasa sejalan dengan apa yang Seringai citrakan dalam bandnya. Lewat lagu tersebut, Seringai seakan ingin menyampaikan kalimat “angkat gelas ke udara, dan tuangkan air kedamaian. Tertawa dan beergembira bersama.

BACA JUGA - Lirik Lagu Si Pembawa Pesan

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner