Polkawars “Tak Menjual Lahir dan Bathin Untuk Harga Apapun” Bagian II

Polkawars “Tak Menjual Lahir dan Bathin Untuk Harga Apapun” Bagian II

Lanjutan dari Bagian I

Karaeng Ajie:
“Angin berapi berkobar dari timur laut”
Theodore Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke 26 pernah berkata dengan tenang “speak softly and carry a big stick”, yang di terjemahkan sebagai “berkata lembut dan bawalah tongkat yang besar”. Ujaran ini seperti metaphor dimana “the bull moose” sebutan lain Teddy Roosevelt, seperti memberikan amaran bahwa, walau dengan kalimat yang halus pun, kita sudah siap untuk tempur dan menerjang keras.

Dan itu adalah amaran yang paling dingin dan menakutkan, apalagi datang dari seseorang alpha male yang pernah membunuh seorang spanyol dengan tangan kosongnya di pertempuran San Juan Hill. Tidak tahu kenapa, ketika saya berfikir tentang Aeng, saya terbayangkan secara implisit dengan imej seorang Teddy Roosevelt.

Talenta diktasi yang singkat, padat dan lugas, pasti terdapat di setiap amanat para diktator mahsyur sepanjang sejarah dunia, dan begitupun juga pada Aeng.      Maklumat dan berbagai arahan berdogma logis berdialektika akan selalu terlontar pedas dari mulut Aeng, pabila sebuah argumentasi telah kehilangan arah maksud dan tujuan.

Dia akan berteriak keras, diolesi oleh kumpulan kalimat terkotor yang lucunya juga, tidak menimbulkan amarah dari pendengar, kecuali bagi para anggota bandnya sendiri, yang pasti akan membalas umpatannya bagai maklumat deklarasi perang. Tapi tidak pernah ada baku hantam yang terjadi setelahnya, karena Aeng dan segenap anggota bandnya akan tertawa lepas dan tidak memendam dendam yang biasanya tersimpan di banyak orang.

Aeng adalah seorang dogmatis sejati yang juga pragmatis. Seorang pekerja ekonomi yang  adalah juga anggota organisasi pemuda wiraswasta, yang kalau bisa dibilang, jauh dari hal-hal yang berbau seni dan sejenisnya. Tapi Aeng yang berpendidikan ahli kimia ini, akan menjadi “anak seni” yang tak perlu berkostum seni ketika hadir diantara komunitas dan perhelatan seni.

 Dia akan banyak terdiam, mengamati, mencerna, walau tanpa kesan peduli. seperti ketika dia di panggung sebagai vokalis, bernyanyi bagai itu adalah sebuah obligasi peran dan akan membiarkan dega, untuk berbicara kepada pendengar mereka. Sesekali akan terdengar celotahan bernada “taik kucing”, yang sering terlontar ke dega, korban serangan agresi bertubi yang kadang menjadi “bulan-bulanan” Aeng.

Peduli pada waktunya dan apabila memang perlu, akan menjadi garapan Aeng untuk berandil. Dia tidak akan ambil bagian dalam apapun, berkesan apatis, dan antipati pada setiap obrolan, kecuali ketika dia sadar, bahwa obrolan itu menuju ke sesuatu yang membikin dia mual. Tapi dia bisa melipur lara bagi yang perlu, tanpa basuhan lembut yang memanjakan.

Tanpa maksud untuk melucu, sekumpulan celotehan-celotehan konyol dan tak masuk akal akan terlontar, seperti “wah bang, om gue kerjaannya dulu nembakin kucing kalo lagi sore-sore sambil minum kopi” dan saya jawab, “pake pestol beneran eng?” dia mengangguk, dan ketika teman-temannya menertawakan hal itu, dia akan membalas, tanpa agresi berlebih, dengan “eh beneran ngentot!! Om gue emang rada gila”.

Seorang agamis tulen rendah hati tanpa harus menunjukkan, Aeng tak pernah menggurui apabila tidak dimintai pendapatnya, dan jauh dari sifat menghakimi.  Baginya, semua manusia punya tanggung jawab masing-masing pada dirinya dan tuhan.

Dia adalah karakter kuat untuk menjadi pemimpin batalyon intai tempur, tapi jangan doakan dia menjadi pemimpin Indonesia, karena populasi Indonesia akan mengecil karena banyaknya hukuman mati, hanya karena membikin dia mual.

Bagaikan buah durian, Aeng akan berduri tajam di tampak mata, akan susah dikupasnya, tapi bagi yang memang suka, ketika terbuka, akan menyukai kelembutan yang tersimpan di dalamnya dan rasa yang unik yang terdapat. Tapi jangan kebanyakan, nanti “mabok”.

Xandega Tahajuansya
“Kabut halus di ufuk barat laut”
Selalu tersenyum dan terkesan "heboh" ketika membahas hal apapun kepada siapapun. "Hah? Serius lo bro?" atau "Siap broooo, santaiii", mungkin adalah senjata Xandega dalam menembus lingkungan sosial apapun.

Dega punya kemampuan tersendiri dalam hal ini.Ia juga tampaknya memiliki skill "speechcraft" yang tinggi, sehingga siapa yang tak kenal "Dega" di lingkungan skena yang kadang 'sekenanya'.

Di satu sisi kegesitan Dega membawa Polka Wars ke tingkatan pengakuan sosial yang jauh lebih tinggi.

Kadang ia juga menjadi pemuka wicara yang 'mencairkan' 'kebekuan' sebuah debat kusir dalam sebuah kelompok.

Di sisi lain "keseruan" Dega kadang juga memicu kekesalan personil Polka Wars lain yang cenderung berkarakter tenang dan dingin. Menjadi “bulan-bulanan” karena banyak kelalaian yang tidak mungkin disengaja olehnya, menjadi sarapan, makan siang, dan makan malam Dega di kala berhadapan dengan teman sebandnya.

Tapi seperti biasanya, dia akan bersikeras bahwa itu semua sudah dilakukan semampunya. Tapi alas, itupun tidak berhasil meredam kobaran api yang siap menghaguskannya.

Banyak kekosongan pemikiran tanpa basis yang konkrit, yang terasa bila Dega menjelaskan banyak info sesuatu yang baru saja dia dapat dari dunia “google” nya, dan merekomendasikan banyak hal tersebut kepada band mates nya.

Kesan itu terasa karena tanpa selisih waktu yang lama, dia akan berganti keyakinan akan info yang dia terima secepat umur nyamuk mengudara di dunia.

Hal itu bisa saja jadi metode progresifitas dia dalam berkembang dan menelaah, atau memang dia tidak tau makna utama dari yang dia dapat. Hal baru menjadi gembong kelas kakap pemikirannya dalam menentukan apa yang dia anggap “Nuevo”

Sayangnya, itu malah menjadikannya menjadi sasaran empuk untuk diberangus karena berkesan, “mengarsir” apa yang sudah ada, dan meniadakan originalitas, berkesan hanya membaca prologue dari suatu thesis, tanpa membedah unsur utama dari makalah yang ditemukan.

Hal itu menyebabkan Dega harus banyak menelan mentah-mentah cuka murahan berasam garam dari bandmatesnya. Kalimat “ya udah, udah, gue coba liat lagi deh” menjadi ucapan singkat yang sering terlontar, bila keadaan itu menimpanya.

Keuntungan utama dari Dega bagi dirinya adalah, acap kali dia tidak pernah merasa ditekan atau di jadikan “papan panah” dari tembakan segala penjuru, karena secara gampang, dia tidak pernah peduli akan hal itu. Dia akan terus menjadi dia. Dan bagi saya itu adalah keuntungan yang bermanfaat untuk membuang dendam yang takkan ada gunanya dalam hidup.

Namun, di samping itu semua, Dega ialah contoh sempurna mewakili sosok anak muda Jakarta Selatan sekarang yang dinamis, progresif dan sporadis.

Dega ibarat irisan buah ceri segar di atas semprotan kecil krim kocok yang berada di atas sebuah kue 'black forest'.

Polka Tanpa Dega bagai sajian martini dalam gelas limas cantik, tanpa sepotong buah zaitun hijau.

Mari merangkum.
Membuat suatu persekutuan atan perhelatan yang melibatkan dua manusia saja bisa terbilang sangat susah. Konflik asal usul, kepercayaan, ide dan ego, akan selalu jadi arena utama suatu pertikaian energi yang pasti akan berbenturan dan menyebabkan meledaknya situasi menjadi panas dan tak terkendali.

Tanpa bersifat partikular dan subjektif, perkenankan saya beropini bahwa pada banyak relatifitas situasi pada umumnya, “false imagery”, ketertarikan pada ketenaran dan pengkhultusan pesona di dalam kebanyakan band, menjadi suatu keharusan yang mutlak dalam standarisasi mengapa band itu dibentuk. Musik tidak lagi jadi modal utama mengapa suatu band itu menggelar peran hidupnya dalam bermusik. Pengakuan dan puja-puji menjadi dorongan utama untuk berkarya.

Daya tarik dan pesona yang sengaja dibuat untuk menarik penggemar menjadi suatu daya upaya yang diutamakan, lebih daripada musiknya sendiri. Politik “kebersamaan” dan “keintiman” dalam suatu band juga menjadi ajang bagaimana suatu band itu mempunyai eksklusifitas “golongan” yang tidak dimiliki oleh para penyaksi dan pendengar mereka.

Terkadang konflik hanya akan ada bila memang diperlukan untuk mendramatisasi keadaan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Disiarkan untuk kebutuhan penjualan imej, yang mana pula akan mendorong harga jual band itu sendiri. Menjual lahir bathin mereka untuk tampil sebagai manusia yang berbeda dari ketika mereka menanggalkan “topeng” dan “kostum” luar rumahnya dan memakai pakaian tidurnya.

Dan disini ada 4 karakter kuat yang mengadu batok kepala setiap saat mereka berada di ajang pertemuan. Mereka tak pernah sekalipun membedakan dirinya diatas maupun dibawah panggung. Tanpa sandiwara keluhungan imajeri yang tak perlu dan tak diingin atau impikan, mereka tampil apa adanya, berseteru dan tertawa tanpa sedikitpun memakai “topeng” kewibawaan suatu persona yang memang bukan wajah mereka. Ketenaran, menjadi tersohor dan sanjungan, hanya merupakan mitos belaka bagi mereka, dimana hal itu menjadi tidak layak untuk dikejar.

Aktualisasi diri adalah pengakuan tersendiri bagi mereka, dimana keyakinan untuk bisa bermain musik, menjadi testamen pribadi kelayakan mereka untuk berkarya dengan talenta yang telah disediakan dari sang pencipta, dan di perdayagunakan sepatutnya dan sebaik-baiknya.

Apabila pengakuan dan pujian terlontakan ke mereka seiring berjalannya waktu, itu akan menjadi bonus penyemangat yang mendorong mereka untuk menjadi semakin dewasa dan bijak dengan bagaimana harus bersikap, menurut kemana ego mereka masing-masing beranjak.

Tak sedikit band yang bubar dan saling patah arang, walau dalam keadaan yang bisa dibilang tentram dan damai. Tapi dalam band para hantu blau ini, keadaan yang selalu panas dan eksplosif, selalu bisa menjadi dingin dalam kesepakatan yang tak bermufakat. Namun bipolarity itu tak menyebabkan mereka ingin menjauh dari satu dengan lainnya, malah menjadi lem perekat yang kuat untuk mempersatukan mereka.

Kalau saya harus memberikan rangkuman singkat terhadap mereka, saya akan menyebut bahwa Polkawars, adalah Band paradox. Dengan ber-analogi, saya akan mengartikan mereka seperti pil anti-depresant biru dan merah, yang mana kebetulan adalah warna yang mereka usung di Album debut mereka, yang bertajuk “AXIS MUNDI” bahasa latin berartikan, “poros dunia”.

Berada di tengah adalah poros, yang mana menjadi kemungkinan besar adalah solusi mereka untuk terus bersama, dalam perbedaan kutub dan alam yang mereka punyai sejak lahir dan dibesarkan. Menelan pil biru untuk tenang, dan melumat pil merah untuk aktif dan siaga. Suatu paradox. Suatu dialektika dalam paradox, berkonsolidasi, berkompromi, dalam biru dan merah, hitam dan putih, kering dan basah, panas dan dingin.

Dan mereka takkan pernah menjual lahir dan bathin mereka untuk harga apapun juga. Semoga. Suatu Paradox memang selalu membingungkan untuk ditelaah, fahami dan dijalani, tapi..bukankah hidup sepatutnya begitu?

Vokalis SORE

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner