Resistensi Musik Bejat: Sebuah Ironi Ketika Makna Kemerdekaan adalah Nasi Dimakan Jadi T*i!

Resistensi Musik Bejat: Sebuah Ironi Ketika Makna Kemerdekaan adalah Nasi Dimakan Jadi T*i!

Total memuat delapan lagu berdurasi 35 menit bertema simbol perlawanan atas pengekangan kebebasan yang dibungkam rapat, direkam di tengah suhu panas politik dalam negeri. Ketika intoleransi memuncak, menguat dan mengakar. Unsur politis bernada SARA menjadi topik umum yang reguler saat dakwah, mencuci otak para pengikutnya. Kriminalitas kian marak merajalela di sudut-sudut kota, mendarah daging di segala lapisan – kejahatan menjadi jalan hidup.

Hukum rimba dijunjung setinggi mungkin. Tindakan para aktivis, mahasiswa, dan figur publik untuk bersuara lantang membela rakyat didiskriminalisasi oleh pasukan berbaju coklat. Berani berbeda dengan menuntut keadilan diciduk, dilukai para aparat yang menyusup berbaju preman, dan tak lupa tentara yang bertugas melayani masyarakat di pinggiran memukuli petani di daerah-daerah dengan bangganya. Mereka seperti lupa semboyan, mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat. Sepertinya, apa yang disebutkan sebelumnya moto baru bagian dari gerakan ‘membela tanah air’.

Kembali ke resensi album Resistensi Musik Bejat. Ada empat butir penting yang tertuang dalam album perdananya Fakecivil ini, selain lampiran manifesto buah pemikiran kritis yang ditangkap para personelnya atas segalah hal sosial yang terjadi di bumi pertiwi.

Mencoba mendengarkan dan menyelami pemikiran kritis para personel Fakecivil sambil membaca manifestonya, Resistensi Musik Bejat merekam sejarah perjalanan kelam satu abad negeri ini di dalam situasi politiknya yang represif. Direkam di dua studio, yakni EC3 Studio milik drumer Edane dan Godbless, Fajar Satritama dan Venom Studio milik Pipinx gitaris Straightout.

Album perdana kolektif thrash metal Fakecivil mungkin tidak akan pernah ada jika Lody Andrian (vokal & gitar), Paulus Tandiarto (gitar), Dennis Destryawan (bass), dan Elham Arrazag (dram) tidak dipertemukan dari kesamaan mereka yang gemar protes di ruang-ruang kelas SMA. Keempatnya sepakat untuk bermusik dengan subyek protes yang lebih luas, yakni kondisi sosial di sekitar yang semakin semrawut. Sejalan dengan filosofi awal mula kehadiran thrash metal di Amerika Serikat yang menendang glam metal rock yang terlalu pop dan budaya konservatif era Ronald Reagan kala itu.

Secara lirikal pun relevan dengan apa yang dilakukan Fakecivil lewat album perdananya. Rasa pesimis dan ketidakpuasaan atas politik dibenturkan dengan isu sosial beserta masyarakat Indonesia di dalamnya. Saya pun sepakat jika ironi tentang kemerdekaan itu berlandaskan nasi yang kita konsumsi dan ujung-ujungnya tetap menjadi kotoran atau feses.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner