‘Nyeni’ Bareng Parahyena ; Musik Otentik Kaya Rasa

‘Nyeni’ Bareng Parahyena ; Musik Otentik Kaya Rasa

Parahyena menghadirkan ruang kreasi sebebasnya, terutama dalam keterbukaan pikiran serta penuangan yang menjadi titik utama yang coba mereka bagikan di dua albumnya, 'Ropea' dan 'Kirata'. 

Parahyena merupakan kolketif musik asal Bandung yang berdiri sejak tahun 2014. Lahir dan tumbuh di lingkungan kampus seni, tak heran jika unsur tradisi terasa begitu kentara dalam musiknya. Digawangi oleh Sendy Novian (gitarlele, vokal), Fariz Alwan (bangsing), Radi Tajul (gitar), Iman Surya (violin), Saipul Anwar (kontrabass) dan Fajar Aditya (cajon), dalam praktek bermusiknya Parahyena mengadaptasi elemen musik-musik tradisional Nusantara dan menggabungkannya dengan gaya musik atau genre dari pada musik barat dan timur secara umum. Album perdananya dirilis pada tahun 2016 berjudul Ropea. Tentang hal ini diakui oleh mereka jika judul album ini mempunyai arti memperbaiki atau memperbaharui dalam bahasa Sunda.

Selang tiga tahun sejak perilisan debut albumnya, pada tahun 2019 Parahyena mengeluarkan album kedua berjudul Kirata, yang merupakan akronim dari “dikira-kira tapi nyata“. Secara musik, album tersebut mengeksplorasi bentuk musikalitas khas Nusantara (timur) yang disenyawakan dengan musik dari genre (barat). Tujuh lagu instrumental dengan racikan gipsy, melodic core, swing, Arabic, latin, melayu dan lain sebagainya diramu dan dibalut dengan bumbu Nusantara dengan menghadirkan ruang kreasi sebebasnya terutama dalam keterbukaan pikiran serta penuangan menjadi titik utama yang coba Parahyena bagikan.

Ditemui disela-sela syuting DCDC Musikkita, Parahyena yang diwakili oleh vokalisnya Sendy menuturkan tentang detil menarik akan album Kirata. Menurutnya album ini berawal dari pola jamming yang mereka lakukan saat latihan. ‘’sebenarnya ga direncakan juga membuat materi untuk album ini. tapi mungkin karena kita keasikan bikin irama-irama kaya gini, akhirnya jumlah jadi banyak dan memungkinkan untuk dibuatkan album. Nah terus yang menariknya, karena ini semuanya instrumental jadi si judul-judulnya juga dibuat setelah lagu dan musiknya jadi. Jadi dikira-kira gitu judulnya apa ya. Nah itu makanya judulnya Kirata, dikira-kira tapi nyata’’, ujar Sendy saat menjelaskan album Kirata.

Ketika ditanya tentang ada tidaknya pencapaian estetika yang ingin diraih album Kirata, Sendy menjawab jika secara estetikanya materi album ini lebih bisa dirasakan di pertunjukannya secara live. ‘’menurut saya kalo tujuh lagu di album tersebut dimainin secara berurutan itu mungkin akan bosen juga ya, apalagi ini kan lagu-lagunya instrumental, jadi makanya saat pertunjukan live kita juga banyak berkolaborasi sama beberapa jenis kesenian, dari mulai wayang golek, tarian ketuk tilu, dan banyak lainnya, jadi bridge per bridge nya dibangun supaya ngga putus. Jadi dari lagu ke satu sampe ke tujuh itu nyambung. Nah menurut saya tujuh materi lagu itu akhirnya jadi kesatuan yang utuh, dan bisa dipahami secara estetikanya seperti apa. Tapi nya nu lempeng mah lempeng aja hehe’’, ujar Sendy.

Bicara Parahyena kemudian menjadi identik dengan unsur etnik yang diakui atau tidak mereka ketengahkan sebagai identitas karyanya. Tentang hal ini Sendy tidak menampik dan bahkan mengamini jika dari awalnya mereka memang sudah ‘ngetnik’. ‘’mungkin karena secara auditif itu kita kuliah di lingkungan kampus seni jadi ngga asing dengan yang namanya gamelan, motif-motif instrumen tradisional, di mana secara ga langsung itu keserap. Jadi pengaplikasiannya ke karya musik itu sedikitnya pasti kebawa. Kaya pola transmedium, perpindahan instrumen ke instrumen, jadi asalnya instrumen bonang pola memainkannya seperti apa, lalu diterapkan pada gitar, terus pola kendang gimana kita terapkan ke cajon. Pola tabuhnya sama, tapi mediumnya berbeda. Disana Bali nya ada, Minang nya ada, Sunda nya kuat, dan kalau dari baratnya ada Samba, atau dari timurnya ada Melayu. Jadi secara detail satu-satunya memang ada, dan semangatnya bisa dibilang semangat universal lah bisa dibilang, karena memadukan kultur musik timur dan barat secara umum. Kalau dikategorikan world music juga bisa sebenernya’’, ujar Sendy.  

Sendy juga menambahkan jika secara penulisan lirik mereka lebih sering mengangkat tema keseharian dengan angle yang bisa dibilang sedikit berbeda. ‘’misalnya nih kalo ada yang bahas cinta, nah kita juga bisa aja bahas tema itu, tapi angle atau sudut pandangnya dibikin berbeda sedikit lah. Tapi memang kalo dari segi lirik kita bisa dibilang ngga terlalu kuat ya, tapi kita menawarkan soundscape-soundscape etniknya justru. Jadi ngga yang lirik mendalam gimana-gimana gitu’’, ujar Sendy menutup perbincangan dengan DCDC.

BACA JUGA - Tentang Chester Bennington, Mantan Pacar, dan Misi Bermusik Ke Luar Negeri

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner