Merayakan Hari Puisi Sedunia Bersama Bung Fiersa

Merayakan Hari Puisi Sedunia Bersama Bung Fiersa

Jika Katon dan Ariel lahir dari ranah musik arus utama (mainstream), maka jika dikerucutkan lagi pada ranah musik arus pinggir (sidestream) atau lazim disebut ‘scene indie’, musisi yang kiranya identik dengan puisi adalah duo Ari Reda, yang kerap melakukan musikalisasi puisi karya sastrawan Sapardi Djoko Darmono. Namun, jika harus kembali dikerucutkan lagi, maka kita akan menemukan nama Fiersa Besari (akrab dipanggil Bung Fiersa), sebagai musisi yang identik dengan puisi. Saking puitisnya si Bung ini, bahkan sampai mendapat apresiasi dari Mardial (musisi, produser, youtuber, etc) kala dirinya menyepertikan gaya komunikasi si Bung dengan orang pada umumnya.

Menurut Mardial, jika orang pada umumnya (maaf) ‘kebelet’ ingin buang air besar, biasanya akan berkata “Aduh kebelet nih”, atau “bro ikut ke wc ya”. Namun tidak bagi si Bung. Saking puitisnya, saat kebelet pun si Bung masih tetap konsisten berpuisi untuk mengutarakan keinginannya buang hajat. Si Bung akan berkata “Muncul kehangatan yang datang serempak tiba-tiba. Tanpa peringatan bulir-bulir itu menyelinap di sela jalur pembuanganku secara sembunyi-sembunyi”. Cuitan Mardial tersebut ternyata direspon banyak orang dengan perumpamaan yang tidak kalah kocak, kala mereka menyepertikan cara berkomunikasi si Bung dengan orang pada umumnya.

Tercatat lebih dari satu kali Mardial melontarkan guyonan satir perihal hal-hal puitis yang mungkin menurutnya terkesan cringe tersebut. Selain menganalogikan gaya berkomunikasi si Bung, dia juga pernah memparodikan tutorial membuat lagu Indie-folk, lengkap dengan keidentikan genre itu, seperti puisi senja, kopi, dan hujan, yang menjadi pilihan kata favorit, dan melekat di banyak lagu folk belakangan ini.

Tentang si Bung sendiri, mungkin si Bung tidak pernah meletakan kata senja dalam lagunya, namun nyatanya dia tidak luput dari guyonan satir Mardial, yang mungkin mewakili perasaan banyak orang yang heran, kenapa si Bung bisa sekonsisten itu berpuisi, dari mulai twitter sampai instagram, hingga pada akhirnya hal itu memunculkan pertanyaan “apakah dalam kehidupan sehari-harinya juga dia berkomunikasi dengan bahasa puitis?”.

Sembari menunggu jawaban si Bung atas pertanyaan di atas, kita beralih pada apa yang terjadi di bulan Maret, dengan tiga ‘perayaan’ di bulan ini, dari mulai Hari Musik Nasional (9 Maret), Hari Puisi Sedunia (21 Maret), dan Hari Film Nasional (30 Maret). Baik itu musik, puisi, dan film, persamaan ketiganya adalah sama-sama bertujuan menyampaikan pesan. Musik mengemas itu dengan nada, puisi dengan kata-kata, dan film dengan visual.

Ketiganya harus punya nyawa jika ingin menjadi karya yang hidup, seperti halnya puisi yang ditulis oleh Soe Hok Gie atau Widji Thukul misalnya. Setiap kata-kata yang ditulisnya punya nyawa, karena sejatinya mereka menulis untuk perubahan dan sisa-sisa harapan yang mereka punya. Bukan untuk branding di sosial media, atau sekedar menulis kata-kata mutiara perihal hidup dalam sudut pandang anak SMA, yang bahkan gagap hanya karena urusan asmara. Ngga bung, ini bukan ngomongin anda. 

Lepas dari itu semua, kiranya tidak ada yang lebih sesuai untuk merayakan Hari Puisi Sedunia ini selain dari puisi karya Widji Thukul berikut ini. "Puisiku bukan puisi. Tapi kata-kata gelap. Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti"

(Aku Masih Utuh, dan Kata-Kata Belum Binasa -Widji Thukul)

BACA JUGA - Yang Harus Kita Pahami Dari Barasuara

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner