Masa Depan Sastra Indonesia Ada di (Lirik) Musik, Sepakat?

Masa Depan Sastra Indonesia Ada di (Lirik) Musik, Sepakat?

Berupaya optimal dalam menulis lirik lagu, adalah alternatif lain dalam menikmati (sekaligus memberdayakan) kekayaan sastra Bahasa Indonesia.

Banyak yang mengisi waktu luang dengan mendengarkan musik, atau membaca karya sastra terutama puisi – meski banyak pula yang menghabiskan waktu untuk bermain di social media.

Aktivitas membaca atau menulis puisi sempat sangat lesu di kalangan anak muda, khususnya beberapa tahun ke belakang. Sekarang, bisa dibilang kesadaran masyarakat perihal ‘menariknya’ dunia orkestrasi aksara mulai kembali terangsang. Namun, Bahasa Indonesia tetap kesulitan membendung kehadiran aneka bahasa alay – yang dianggap ‘hama’ dalam konstruksi berbahasa. Jika ‘hama’ ini semakin menyebar, penurunan kualitas yang dikhawatirkan tidak hanya dalam urusan baca-tulis saja, namun juga ke kualitas komunikasi orang-orang Indonesia.

Beberapa kalangan lain mulai tergerak untuk mengambil upaya solusi, dalam rangka mengajak kita kembali untuk bangga terhadap KBBI. Menikmati bahasa Indonesia via mendengarkan musik, misalnya. Beberapa musik bertema puitik, disinyalir mampu menambah syahdunya si lirik. Karena faktanya pun demikian, banyak sekali lagu yang diawali dari puisi seseorang. Ari Reda adalah salah satunya. Mereka sering melantunkan musik dengan lirik lagu puisi. Mereka menyebutnya musikalisasi puisi.

Sapardi Djoko Damono (sastrawan handal Indonesia) dalam sebuah kesempatan ngobrol tentang puisi bersama Joko Pinurbo (dimoderatori Najwa Shihab di ASEAN Literary Festival 2016) menjelaskan alasan puisinya terkenal. Salah satu puisinya, “Aku Ingin” dinyanyikan oleh Ari Reda. “Jika tidak dinyanyikan oleh mereka, maka anda tidak akan mengenali saya dan puisi-puisi saya lainnya,” pungkas penyair berusia 77 tahun itu.

Selain Ari Reda, pada era 80-an kita tentu masih ingat lagu-lagu dari Chrisye, Ebiet GAD, Franky Sahilatua, Iwan Flas, dan musisi-musisi lainnya yang sering menggunakan metafor dalam penulisan liriknya. Metafora adalah salah satu cara untuk membuat sebuah puisi. Majas ini terkenal dengan bahasa yang indah, serta tidak mengucapkan maksudnya secara langsung. Akan tetapi menggunakan bahasa kiasan.

Musik dan puisi pada era sekarang juga tidak dapat dipisahkan. Banyak penyanyi atau band-band yang menggunakan bahasa kiasan dalam penulisan liriknya. Mulai banyak pula, karya musisi era sekarang yang sebagian besar berlirik puisi – karena terdapat syarat-syarat penulisan puisi di dalamnya; seperti majas metafora.

Payung Teduh, misalnya. Lirik-lirik lagu mereka mewakili sebuah karya puisi. Dipadu musik folk, keroncong, serta jazz. Meski nasib band ini belum jelas paska sang vokalis keluar, tampaknya karya syahdu Payung Teduh masih cukup nyaman digunakan lama untuk berteduh, meskipun hujan telah reda.

Kemudian, Indonesia punya vokalis story-telling bernama Tulus (Muhammad Tulus). Lagu-lagunya adalah intepretasi dari sang penyanyi yang sejak kecil terbiasa menulis cerpen. Karyanya mewakili cara bicara Tulus yang juga puitis, meski hanya sekedar ngobrol kecil-kecilan. Liriknya tampak sangat diperhatikan dan disiapkan. Contohnya, ia mengklaim bahwa dirinya “Gajah”. Tulus juga meminta “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Pehatikan juga lirik lagu “Sepatu”, “Tuan Nona Kesepian”, “Monokrom”, “Teman Hidup”, dan “Tukar Jiwa”. Lirik-lirik lagu tersebut juga mewakili sebuah karya puisi yang metafor.

Lalu ada Silampukau, band folk beranggotakan Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening asal Surabaya. Lirik lagu mereka terasa sendu, sekaligus kritis tentang masalah sosial. Dalam karya-karyanya mereka tak pernah lepas dari kota Surabaya. Mereka banyak menggambarkan kota Surabaya dalam penulisan liriknya. Lihat saja kenalakan dalam lirik “Si Pelanggan”. Lirik lagu tersebut menggambarkan tentang bekas tempat prostusi di Surabaya. Dalam liriknya, mereka seakan kangen dan ingin bernostalgia tempat tempat itu. Wajah kota Surabaya yang semakin banyak gedung tinggi mereka kemas secara cerdas dalam lagu “Bola Raya”. Pehatikan juga dalam lagu-lagu mereka yang lain, seperti “Lagu Rantau”, “Sang Juragan”, “Bianglala”, “Malam Jatuh di Surabaya”, dan “Doa 1”. Puitik yang silau dari Silampukau.

Di jajaran musisi indie wanita, ada Danilla Riyadi. Penyanyi yang rebel sekaligus anggun ini mengedepankan kebebasan ekspresi dan daya tangkap pendengar, perihal lirik lagunya. Lagu-lagu yang cukup populer adalah “Besdistraksi”, “Buaian”, “Senja di Ambang Pilu”, dan “Lintasan Waktu”. Ia tak punya pakem dari aturan yang belaku – Danilla berkarya dengan apa yang ia ingankan. Mungkin itu yang membuat lirik-liriknya sukar dipahami.

Selain Danilla, wanita yang mulai lekat dengan kesan sastra adalah Rara Sekar, vokalis Banda Neira. Band yang namanya terinspirasi dari sebuah pulau indah di daerah Maluku ini, sebenarnya telah bubar pada akhir 2016 lalu. Banda Neira sering memainkan musikalisasi puisi karya-karya penyair Subagio Sastrowardoyo dan Chairil Anwar. Selama berkarya, mereka telah mengeluarkan dua album, yakni Di Paruh Waktu (2013) dan Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti (2016). Rara Sekar menulis lagu berdua dengan Ananda Badudu. Selain lagu “Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti”, lirik-lirik lagu lainnya tak kalah dadas. Simak tembang “Matahari Pagi”, “Pangeran Kecil”, “Sebagai Kawan”, “Sampai Jadi Debu”, juga “Di Atas Kapal Kertas”.

Jangan lupakan nama Dialog Dini Hari (band folk asal Bali). Bahkan di album Tentang Rumahku (rilis 2014), band ini mendapat apresiasi langsung dari penyair besar, Sapardi Djoko Damono. Perhatikan pada lirik-lirik lagu “Tentang Rumahku”, “Manuskrip Sepi”, “Jalan Diam-diam”, “Pelangi”, lalu “Aku dan Burung”.

Bila timbul pertanyaan, mampukah kekuatan sastra bersanding elegan dengan nuansa musik enerjik macam rock? Barasuara adalah jawabannya. Lagu-lagu mereka hadir dengan lirik yang sarat makna serta kaya akan diksi. Sebagian besar lirik lagunya ditulis oleh Iga Massardi, vokalis sekaligus gitaris –putra dari penyair kawakan Yudhistira Massardi. Darah seni muncul dari ayahnya. Oleh sebab itu dalam penulisan liriknya, Iga Massardi sangat berpengaruh besar di Barasuara. Sejak munculnya Efek Rumah Kaca (ERK), Barasuara dan ERK ramai diminati anak muda, sebagai cara alternatif dalam menikmati musikalisasi puisi. Dalam album Taifun (2015), simak lagu-lagu mereka yang berjudul: “Sendu Melagu”, “Tarintih”, “Menunggang Badai”, “Bahas Bahasa”, “Api dan Lentera”, “Mengunci Ingatan”, dan “Hagia”.

Musisi-musisi di atas membuktikan bahwa kita memiliki seniman yang punya karya sungguh luar biasa. Mereka begitu kreatif melagukan setiap kata yang dikolaborasikan bersama nada-nada sehingga dapat kita dengarkan. Tanpa bermaksud katarsis, sastra Indonesia hari ini masih pincang untuk berdiri sendiri. Sebagaimana cabang seni lain, sastra butuh media lain untuk ‘berdiri bersama’ salah satunya adalah musik.

Sumber Foto: Zi0oTo (Deviant Art)

BACA JUGA - Seakan Belajar Bahasa Sarkastik Dengan ‘Eminem’ (Versi Indonesia)

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner