Lebih Jauh Tentang Jazz dan 'Taman Belakang' Ardhito Pramono

Lebih Jauh Tentang Jazz dan 'Taman Belakang' Ardhito Pramono

"kalo gua masuk ke komunitas jazz gua banyak kurangnya, gua selalu di judge gitu, sampai akhirnya gua memutuskan stop di komunitas dan gua pengen orang-orang liat Jazz itu ngga rumit"

Setelah lulus dari JMC Academy, Ardhito membantu sang ayah untuk bekerja di perusahaan milik ayahnya yang bekerja di bidang aircraft maintenance. Namun hasratnya yang kuat dan kecintaannya pada musik membuat Ardhito memutuskan untuk terjun sebagai full time musician. Terbukti pada tahun 2017 Ardhito merilis mini album perdana dengan judul namanya.

Sukses dengan mini album Ardhito Pramono, pada tahun yang sama Ardhito kembali merilis mini album bertajuk Playlist Vol. 2. Pada tahun 2019 Ardhito kembali merilis mini album Letter to My 17 Year Old. Selain itu ada karya lain dari Ardhito yang ikut mewarnai khazanah perfilman Indonesia dengan melepas single yang menjadi soundtrack untuk film ‘Susah Sinyal’ berjudul “Fine Today”, serta perannya sebagai Kale di film ‘Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’.

Bukti dari keseriusan dan konsistensi Ardhito dibidang musik berbuah manis dengan masuk sebagai nominasi pada ajang Anugerah Musik Indonesia sebagai Artis Solo Pop Terbaik, Artis Jazz Vokal Terbaik dan Karya Produksi Folk/Country/Balada Terbaik ditahun 2019. Selain sukses didunia musik Ardhito juga menua prestasi sebagai Pemeran Pendatang Baru Terfavorit di ajang Indonesia Movie Actors Awards.

Pada tahun 2020 Ardhito Pramono melepas EP terbaru, Craziest Thing Happened in My Backyard. ‘Craziest Thing Happened in My Backyard’ menjadi album mini keempat yang memuat lima lagu. Dalam mini album ini memuat sisi personal dan gelap Ardhito Pramono. Mini album ini bisa ditafsirkan sebagai halaman belakang tempat menyimpan berbagai kenangan baik, buruk, rahasia, dan perspektif Ardhito Pramono. Buah pemikiran itu menghasilkan lagu ‘Trash Talkin', ‘925’, ‘Here We Go Again/Fanboi’, ‘Plaza Avenue’, dan ‘Happy’.

Ditemui disela-sela gelaran DCDC Pengadilan Musik, Ardhito menuturkan ragam perspectif menarik tentang musik, serta hal lainnya yang dia rasakan, dari mulai bagaimana dia memandang musikk jazz, hal-hal esensial dalam lagu-lagunya, serta tanggapannya tentang mini album Craziest Thing Happened in My Backyard.

Kala ditanya tentang EP nya tersebut Ardhito menuturkan jika sebenarnya setiap album yang dia rilis mempunyai sisi gelapnya masing-masing, namun khusus untuk mini album ini dia menceritakan tentang trauma-trauma tentang patah hati serta trauma dan pikiran-pikiran jahat, seperti misalnya di lagu “Trash Talkin” yang dia tulis untuk orang-orang sombong, hingga lagu “Plaza Avenue” yang menyimpan banyak rahasia tentang alcohol abuse dirinya. “gua kadang-kadang jam 9 pagi bisa minum karena bingung harus ngomong apalagi, jadi dituangin di alcohol”, ujarnya.

Selain itu, dia juga menjelaskan tentang analogi ‘backyard’ yang dia pakai untuk judul albumnya. Menurutnya bakyard erat kaitannya dengan studionya yang terletak di kebun, dan hal tersebut menariknya punya kesamaan dengan musisi favoritnya, Gilbert Oslisen, yang punya ‘kehidupan’ backyardnya dia. “Ternyata backyard itu jadi kaya rumah buat gua, dan itu jadi analogi yang tepat buat gua pakai dalam judul album itu”, ujarnya.

Bicara tentang musisi kesukaan, Ardhito juga mempunyai ketertarikan berlebih dengan vokalis Radiohead, Thom Yorke. Menurutnya Thom Yorke selalu berhasil mewadahi dua kesukaan dia dalam bidang musik dan film. “gua belajar dari Thom Yorke. Kalo lo dengerin dia lo kaya nonton film, dan imbasnya gua jadi bikin lagu kaya “Plaza Avenue”. Di lagu itu gua bikin satu scene dulu, dan itu kaya jadi ada skrip di otak gue. Jadi kalo dibilang musik gua kaya deskriftif dan bisa memancing pendengar ngebayangin scene di setiap lirik yang gua nyanyiin, karena memang gua pendekatannya ke film pas bikin lagu”, ujarnya.  

Tentang film juga Ardhito mengaku jika dirinya cukup terinspirasi dari film ‘Parasite’, di mana film itu menurutnya melatari kenapa pada akhirnya dia berkeinginan mempunyai album yang ‘gelap’. “gua pengen album gua ‘dark’ kaya film itu. Sama ada satu lagi sih film yang juga ikut nge-trigger buat bikin album kaya gitu, salah satunya film Midsommar. Film itu kaya film horor gitu, tapi output ke penontonya itu bukan jumpscare tapi terror. Nah gua suka film yang kaya gitu”.

Pendekatan pada film juga kemudian berbanding lurus dengan beberapa video klip yang dia rilis, yang jika diperhatikan lebih jauh punya benang merah yang sama, dan pada akhirnya menjadi saling bersambung satu sama lain, bahkan ada yang menganggap jika beberapa video klip yang dia rilis terkesan ada indikasi teori konspirasi. “ngga lah itu bukan konspirasi. Tapi memang video klip-video klip itu sangat terkonsep. Hal itu jadi teknik marketing yang baru gua pelajari, di mana dari video pertama sampe kelima itu nyambung, jadi kalo ada teka-teki bisa diliat di video selanjutnya gitu”, ujarnya menjelaskan tentang video klip-video klip yang dia rilis dari kantung album Craziest Thing Happened in My Backyard.

Tentang Jazz

Jazz pada akhirnya menjadi cukup identik dengan Ardhito, dan bahkan sosoknya digadang-gadang menjadi icon baru bagi musisi jazz muda yang banyak digemari. Tentang hal ini Ardhito menuturkan jika dirinya dari dulu memang ingin belajar Jazz, tapi di ranah komunitas jazz itu sendiri menurutnya cukup memberi jarak, sampai akhirnya dia memutuskan berjalan ‘sendiri’. “kalo gua masuk ke komunitas jazz gua banyak kurangnya, gua selalu di judge gitu, sampai akhirnya gua memutuskan stop di komunitas dan gua pengen orang-orang liat Jazz itu ngga rumit, karena hakikatnya Jazz itu ngga susah karena Jazz itu deket banget sama keroncong”, ujarnya. 

Ditambahkan pula olehnya jika secara roots ternyata dia ada di jazz, dan hal ini terbukti kala dia dan semua nyala kreasinya bermain di luar genre tersebut, dan ternyata tidak menemukan kecocokan. “Gua pernah nyobain Pop Rock ala Dewa 19 tapi ga cocok dan ga masuk, sampe Rnb gua juga bikin, tapi ternyata ga masuk juga. Sampai akhirnya gua bikin apa yang gua seneng, dan jazz ternyata menjawab itu. Saat itu sampe hari ini gua konsisten di roots Jazz gua”, tambahnya.

Kecintaannya pada jazz dihadapkan pula pada ‘perjudian’ tentang apakah musiknya bisa ‘menjual’ atau tidak. “Kalo kesulitan sih secara teknik iya karena gua gabisa baca note balok, tapi kalo secara music bisnis gua ga merasa kesulitan sama sekali, karena gua yakin musik gua ga jelek, tinggal cari anak tangga yang bisa ngebawa niat gua sampe sana aja sih. Jadi pertama kali gua keluar itu dengan lagu Bahasa Indonesia, dan yang nonton cuma lima ribu orang dan ga masuk. Bertahun-tahun gua coba bikin lagu di youtube dan upload di youtube dan ga banyak yang dengerin. Tapi ternyata saat gua berkolaborasi dengan youtuber untuk bikin mini series, terus gua bilang yaudah gua bikinin aja lagunya, walaupun lagunya juga gua bikin di tengah banget, jadi Jazz banget engga, pop banget juga engga. Yaitu jadilah lagu “Bitter Love”. Ternyata lagu “Bitter Love” itu ngangkat nama gue, dan lagu itu juga yang menghidupi gue sampai sekarang. Uniknya, ini gua cerita sedikit, pas bikin lagu itu pembuatannya dikejar deadline dan di luar lagi ada pengajian. Gua pikir berkha nih”, ujarnya sambil tertawa.

“gua pengen pendengar musik Indonesia lebih bisa menerima, dan itu terbukti dengan diputernya lagu gue di beberapa mini market, dan gue seneng banget sih, tandanya pendengar sudah mulai menerima. Menurut gua jangan takut berkarya untuk anak-anak muda ya. Sedangkan kalo di film harapan gue semoga production yang ada di Indonesia bisa lebih memberi edukasi dengan bener, ga semata-mata laku. Ya kaya zaman-zaman film Benjamin lah ya, yang medidik gitu”, ujarnya menutup obrolan dengan DCDC.

BACA JUGA - Tentang Munthe, Visi Bermusik, dan Apakah Dia Keberatan Dibandingkan Dengan Fiersa Besari?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner