Lebih Jauh Mengenal Oscar Lolang : Dari Bob Dylan, Papua, Hingga Ancaman Teror

Lebih Jauh Mengenal Oscar Lolang : Dari Bob Dylan, Papua, Hingga Ancaman Teror

Transkrip oleh Ganjar Pratama

Oscar mengaku jika ada ada masanya waktu itu beberapa orang tidak suka dengan apa yang dia sampaikan di lagunya, bahkan sampai ada yang berindikasi melakukan teror terhadap Oscar

Awal kemunculannya, penyanyi dan penulis lagu asal Bandung, Oscar Lolang begitu mencuri perhatian, terlebih dengan suguhan musik folk (alias musik akustik dengan senjata utama gitar) yang dia bawakan berbeda dengan pilihan lirik berani, ‘vokal’, dan intens. Salah satu yang cukup membekas di banyak penikmat musik tanah air, salah satunya sebuah lagu berjudul “Eastern Man” yang mengetengahkan isu sensitif perihal papua dan aparat.

Ditemui disela-sela syuting DCDC Musikkita, Oscar menuturkan beberapa pengalaman ‘unik’ yang dia alami seputaran lagu tersebut. Waktu itu ada salah satu media di Magelang membuat konten tentang beberapa musisi yang menciptakan lagu perlawanan yang dikirim ke aparat, disana ada lagu “Easter Man”, lagu dari Tashoora, dan satu lagi lagu dari Efek Rumah Kaca. Awalnya sih lagu itu aman-aman saja karena saya tulis pake lirik bahasa Inggris. Mungkin banyak yang ngga ngeuh juga. Tapi waktu part lirik “sa pu mama mati karena tentara....” lumayan ‘wow’ gitu, dan langsung pada diem pas saya bawain”, ujarnya membuka obrolan dengan DCDC.

Dia juga menambahkan jika ada ada masanya waktu itu beberapa orang tidak suka dengan apa yang dia sampaikan di lagunya, bahkan sampai ada yang berindikasi melakukan teror terhadap Oscar. “ada beberapa orang yang ngontak ngajak ketemu, sampai akhirnya temen aku ngeuh ini rada aneh, dan setelah dicari tahu ternyata bener ini aparat. Itu doang sih itu sekali dan lumayan takut yaa, ujar Oscar.

Ketika ditanya tentang latar belakang penciptaan lagu “Eastern Man” Oscar menuturkan jika lagu tersebut dilatari oleh kasus Tolikara di Papua. Waktu itu kalo gasalah lagi ada kasus tolikara, dan waktu itu aku lagi di Jatinangor. Disana kan banyak komunitas papuanya dan aku juga berteman deket sama beberapa teman orang sana. Waktu itu aku ke trigger karena ngerasa kami yang dari Jawa melihat Papua banyak stereotipnya gitu. Sampai akhirnya aku ngerasa menemukan perspectif lain dari teman-teman Papua, ditambah ada kasus tolikara, dan itu awalnya aku menulis lagu ini”, ujarnya.

Bicara tentang lagu, usai melahirkan lagu se’vokal’ “Eastern Man”, Oscar seolah ‘melunak’ dengan apa yang dia tulis dalam lagunya, dan hal ini melahirkan beberapa lagu yang dia akui begitu personal karena berkisah tentang dirinya. Kalo dilagu sebelumnya aku ciptain lagu dari apa yang dilihat dan apa yang dibaca, nah semenjak lagu “Melodies sih aku banyak bikin lagu yang kembali ke dalem’, jadi engga langsung responsif gitu dengan isu yang lagi terjadi, tapi lebih mengamati secara hati, ujarnya.

Dia juga menambahkan jika meski lagu “Melodies” itu dia tulis personal, namun dirinya tidak ingin terlalu menggali lebih jauh kondisi psikis dirinya dan orang-orang yang akan mendengarkan lagunya. “Lagu “Melodies kan personal, tapi aku ngga yang ngomongin soal kesehatan mental atau hal-hal yang mungkin bisa salah aku tafsirkan. Disitu aku rada berhati-hati ketika bikin lagu yang membicarakan masalah psikis, atau masalah mental gitu, karena lagu-lagu itu bisa ngetrigger orang makin down, atau bisa membuat orang merasa terwakili dengan lagu itu. Positifnya sih untuk healing, tapi gabisa sotoy biar ngga nambah masalah lagi”, ujarnya Oscar mengenai lagu “Melodies”.

Hal yang kemudian menjadi menarik untuk dituliskan adalah tentang analisa Oscar tentang kecenderungan masyarakat perkotaan yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental, hingga akhirnya hal tersebut cukup banyak diangkat ke dalam sebuah lagu. “Menurut aku setiap orang di perkotaan memiliki tendensi yang cukup gede untuk memilik gangguan psikis dan mental, karena di kota kan udaranya ngga sehat, makanannya junkfood, belum lagi stress dari masa kecil, entah itu di sekolah atau di keluarga. Bagi aku itu adalah masalah yang cantik untuk dikemas dalam pop culture. Ketika orang melakukan self diagnose mungkin karna orang itu relate sama orang disekitar dia. Mungkin dia belum ke psikiater, tapi beberapa orang sudah berani mengklaim kalo dia ada gangguan psikis/mental. Belum lagi di TV pun seperti itu. Jadi itu sih menurut aku kenapa ada self diagnose sih, semuanya saling terkait, kondisi sosial, kondisi politik, dan isu-isu yang lain, ujarnya tentang ‘tren’ musisi yang membuat lagu berdasar pada isu kesehatan mental.

Oscar yang pada awal kemunculannya hadir seorang diri, seiring berjalannya waktu dan proses dia bermusik kemudian hadir dengan format full band bersama grup The High Temple. Tentang hal ini dia mengaku jika hal tersebut erat kaitannya dengan keinginan dia berkesplorasi, baik secara musikal atau pun aksi panggungnya. Karena aku mau eksplorasi sih. Misalkan panggungnya gede, jadi kayaknya seru kalo aku megang gitar, terus aku juga kadang megang piano. Jadi aku lebih ekspolarasi aja sih walau belum tentu aku mahir maininnya”, ujarnya

Lalu ketika ditanya tentang bagaimana proses kurasi dia memilih player untuk mengiringinya, Oscar menuturkan jika dia si player harus nyambung dulu secara karakter musiknya. Kalo aku nyambung dulu secara karakter musik sih, kalo chemistry bisa dijalin, apalagi sekarang digital sih, jadi chemistrinya ada di laptop gitu”, ujarnya seraya tertawa.

Sebelum menutup obrolan dengan DCDC Oscar menuturkan jika nama musisi Bob Dylan memegang peran penting akan karakter musiknya dari dulu hingga kini. “Kalo aku dari SMA ada temen yang nyekokin macem-macem, tapi nama Bob Dylan ini yang selalu nempel. Jadi kalo aku lari kemana aja tetep pulangnya ke Bob Dylan”, ujarnya menutup obrolan dengan DCDC.

BACA JUGA - Tentang Munthe, Visi Bermusik, dan Apakah Dia Keberatan Dibandingkan Dengan Fiersa Besari?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner