Lagu Religi Buat Siapa?

Lagu Religi Buat Siapa?

Yang lebih ekstrem justru dilakukan oleh Koes Plus yang merilis album berirama qasidah di saat Ramadhan dan merilis album pop religi ketika hari Natal tiba. Mungkin, Koes Plus ingin memberi pesan tersembunyi tentang makna toleransi yang sebetulnya jika dijalankan akan memberi banyak keuntungan termasuk secara finansial. Mungkin.

Mungkin, kelompok Bimbolah yang pertama kali berani keluar dari pakem musik religi yang identik dengan gambus dan qasidah. Mereka berani melakukan terobosan secara musikalitas untuk menyasar banyak segmen pendengar. Rhoma Irama beraliran musik dangdut tentu masih menggunakan gambus dalam aransemennya, dan hanya pecinta dangdut yang menyukainya. Begitu juga dengan grup qasidah Nasida Ria yang terkenal dengan hits single-nya, "Perdamaian" yang pertama kali muncul masih murni sebagai grup qasidah dengan pakem irama gambus. Segmen pendengarnya terbatas hanya berasal dari kalangan para santri dan lingkungan pesantren.

Jejak Bimbo lantas di ikuti oleh banyak musisi di era '90 dan 2000an. Adalah band Gigi yang mencoba mengikuti jejak Bimbo karena melihat peluang pasar yang besar di segmen musik religi. Band yang mengusung musik rock / pop alternatif tersebut tengah di puncak popularitasnya dengan mayoritas pendengar anak muda dengan berani pada tahun 2004 mengeluarkan album religi perdana bertajuk Raihlah Kemenangan. Dalam album tersebut, Gigi mengaransemen ulang beberapa lagu religi Bimbo, di antaranya "Tuhan" dan "Rindu Rasul". Selain lagu Bimbo, mereka juga mengaransemen ulang lagu "Ketika Tangan dan Kaki Berkata" karya Taufik Ismail yang dinyanyikan Chrisye. Mereka menampilkan nuansa berbeda dengan format musik yang lebih kekinian.

Selanjutnya, nyaris setiap bulan Ramadhan Gigi merilis album religi dan menuai sukses penjualan. Langkah tersebut lantas diikuti oleh beberapa band, seperti Ungu, Padi, Dewa 19 dan beberapa penyanyi solo yang juga turut menuai sukses dengan rilisan single bertema religi. Dalam era pos-kapitalis sekarang, apa yang dilakukan oleh mereka sah-sah saja; membuat produk dengan cara komodifikasi dan eksploitasi tema religi memanfaatkan momentum hari besar keagamaan. Dalam realitasnya, masyarakat yang hidup di era pos-kapitalisme menjadikan agama sebagai produk marketing. Seperti layaknya penjualan serba diskon menjelang hari raya yang menggiring orang untuk berbelanja. Atau seperti program-program televisi yang mendadak semua pengisi acaranya menjadi individu yang religius dengan memakai simbol-simbol kesalehan dan kealiman. Mendadak berhijab, mendadak berbaju koko.

Lagu religi adalah salah satu bentuk dari eksploitasi nilai religius. Berdalih membawa pesan kebaikan dan menggugah orang untuk bertaubat walau sesaat di bulan suci dan hari raya. Setidaknya, mengingatkan orang masih ada surga dan neraka yang akan jadi pilihan setelah mereka mati. Mungkin ada saja yang tergugah setelah mendengar lagu religi. Lantas bertobat dan berhijrah. Setelah berhijrah justru berbalik mengharamkan musik. Mungkin.

BACA JUGA - Musik, Olahraga, dan Cara Keduanya ‘Menggerakan’ Manusia

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner