Kolaborasi Dua Sisi Distorsi Kotor

Kolaborasi Dua Sisi Distorsi Kotor

Lagu ini bercerita tentang bagaimana menjadi manusia yang benar - benar manusia, dan mengajak pendengarnya untuk membuat hidup lebih berarti

When music too loud, you’re too old, kalimat itu ditujukan untuk mereka yang telinganya tidak terbiasa dengan bebunyian distorsi kencang dan “kotor”, dan menjadi paradoks ketika ternyata padu padan musik yang memekakan telinga itu malah diamini oleh dua kelompok musik asal Palu, Sulawesi Tengah, Eureka dan Ayam Kaili, lewat lagu berjudul “Bermanusia”. Mereka sendiri menamakan kolaborasi ini dengan sebutan Experimental Noise Grunge, yang dirasa cukup mewakili kedua sisi musik yang mereka mainkan.

Lagu ini bercerita tentang bagaimana menjadi manusia yang benar - benar manusia, dan mengajak pendengarnya untuk menyerukan tentang sebuah kesetiaan, keadilan, hak asasi, dan yang terpenting di lagu ini juga mengajarkan bagaimana membuat hidup lebih berarti, juga mengajak orang-orang, baik itu kaum muda, ataupun yang sudah tua agar tetap ‘survive dalam kondisi apapun, dan tidak hanya berpangku tangan untuk menunggu, dan menghabiskan waktu dalam keadaan sia - sia. Sebuah anthem penyemangat untuk para makhluk yang menamai diri mereka "Manusia", dari mulai mereka bangun pagi sampai sore atau malam hari, ditengah semua kepenatan pekerjaan setiap harinya.

Lagu “Bermanusia” ini menjadi menarik, dengan tambahan adanya penggunaan bahasa asli suku Kaili dalam lagu ini, yang ditulis Sigit Adam & Arfan Maraulo, sebagai orang yang bertanggung jawab di departemen lirik lagu ini. Isinya mengingatkan bagi para kaum muda, yang notabene nya adalah penerus dari terdahulunya, untuk tidak lupa tentang darimana mereka  berasal.

Konsep seperti ini mungkin bukan yang pertama bagi para penggiat musik, khususnya di ranah musik indie lokal, akan tetapi dengan konsep yang menambahkan kekayaan budaya lokal semacam ini, mereka telah menjadi perpanjangan tangan khasanah budaya lokal, yang sebaiknya memang tidak boleh punah dan harus tetap lestari. Adanya silang budaya semacam ini, diharapkan bisa berbanding lurus dengan apresiasi pendengarnya, untuk lebih “ngeuh” dengan kekayaan budaya lokal, yang dalam hal ini lebih mengerucut bahasa asli suku Kaili. Apalagi ini diterjemahkan dengan pemaparan musik menarik, yang mereka sebut dengan istilah Experimental Noise Grunge tadi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner