Kilas Balik Musik Alternatif Indonesia

Kilas Balik Musik Alternatif Indonesia

Ketika zaman beralih pada era musik alternatif 90an. Banyak musisi/band bagus yang bisa ditemukan di era itu. Musik yang disuguhkan begitu lepas dan tanpa beban.

Tema-tema lagu yang diangkat dalam musik alternatif sangat menarik dengan pendekatan yang langsung bersentuhan dengan permasalahan sehari-harinya. Ada Opie Andaresta yang bercerita tentang ‘ingat-ingat pesan mama’, dimana ketika itu seorang anak remaja (apalagi perempuan) tabu jika harus pulang terlalu larut malam. Sebuah tema lagu yang diamini pula oleh Slank ketika mereka berujar ‘kamu harus cepat pulang’ dalam lagunya.

Era 90an semakin menarik dengan mulai masuknya MTV sebagai stasiun TV pilihan anak muda ketika itu. Menjadikan MTV sebagai role mode bagi mereka, para kaum muda pada zamannya. Dari musik, busana, dan sikap anak mudanya ketika itu banyak dipengaruhi oleh MTV, sebagai kiblat mereka. Bagi sebagian anak yang memang ada dan lahir di zaman itu beranggapan jika itu adalah masa emas musik Indonesia. Dengan berbagai penilaian yang tentunya personal, sebelum menjadikan ini perdebatan era mana yang bisa dikatakan masa emas musik Indonesia. Yang jelas ketika itu, musik (di tahun 90an) tidak lari dari artian sebenarnya musik/bermain musik, ketika musik tersaji begitu ringan, menghibur, dengan kedekatan personal yang bisa diwakili oleh lagu yang dibawakannya.

Era 90an yang bisa dibilang salah satu masa keemasan musik Indonesia berlangung sangat menyenangkan, setidaknya sampai awal tahun 2000an, ketika Sheila on 7 menjadi yang paling diperbincangkan dengan debut album mereka yang menembus angka satu juta copy lebih, sampai pada akhirnya Peterpan mengakhiri era itu. Setelahnya musik arus utama (katakanlah seperti itu) tidak lagi menarik, untuk bisa melahirkan nama-nama yang diharapkan bisa memenuhi ekspektasi tentang musik yang bagus (dalam artian bagus secara esensi dan estetikanya). Semuanya tampak tidak mempunyai warna dan kekhasan, yang membuat generasi setelah generasi tahun 90an itu menjadi membosankan dan meaningless.

Kekosongan musik arus utama itu diisi oleh munculnya band-band bawah tanah (lazim disebut dengan sebutan band indie) yang mulai banyak bermunculan. Apalagi ketika itu MTV 24 jam nonstop menyuguhkan acara-acara musik dalam, dan luar negeri yang bagus. Band-band indie seakan menjadi angin segar, untuk industri musik Indonesia kala itu. Suguhan musik yang terbilang cutting edge terdengar begitu catchy, ditengah kebosanan mendengarkan musik yang itu-itu saja. Kita bisa lihat bagaimana gilanya Koil dengan aksi panggungnya, bagaimana mengawangnya musik The Milo, atau bahkan terlena dengan lantunan suara merdu dari Arina, sang vokalis Mocca. Sampai di titik itu musik Indonesia masih terasa berwarna dan menyenangkan.

Sampai kemudian MTV memilih mundur dari siarannya, musik Indonesia seakan kehilangan arah akan kemana membawa arusnya. Ini ditandai dengan lahirnya musik pop melayu yang diprakarsai oleh ST 12 sebagai band yang bertanggung jawab atas mewabahnya (katakanlah seperti itu) musik yang serupa. Satu dua band beraliran pop melayu mungkin tidak jadi soal sebagai ragam warna musik yang hadir di Indonesia. Namun ketika itu menjadi satu bentuk penyeragaman atas nama pasar, maka semuanya menjadi tidak lagi menarik, dan musik tidak lagi dalam artian yang seharusnya.

Lalu setelahnya, seakan tidak belajar dari kesalahan pola keseragamn sebelumnya, lagi-lagi industri musik arus utama di Indonesia melakukan kesalahan yang sama kedua kalinya. Kali ini giliran grup musik dengan format boyband/girlband yang wara-wiri menghiasi layar kaca setiap harinya. Yang membuat ini semakin memalukan adalah ketika pola keseragaman ini menyadur habis-habisan Korean Waves yang sedang marak di Indonesia. Identitas musik Indonesia semakin tergerus dan semakin kehilangan arah.

Pola keseragaman atas nama pasar hasil olahan industri, perusahan rekaman dan toko-toko kaset/cd yang banyak gulung tikar, sampai pada penjualan album di gerai makanan, membuat kita agaknya susah untuk bisa optimis jika masa keemasan musik Indonesia bisa diulang kembali. Namun menjadi skeptis bukan sesuatu yang baik untuk diikuti. Di era internet ini, ketika media sosial banyak memberikan kemudahan menyebarluaskan suatu karya, mungkin dari sana masih ada sedikit harapan untuk bisa melihat musik Indonesia masih bisa bertahan lebih lama lagi. Satu-satunya yang bisa diharapkan dari wajah musik Indonesia hari ini adalah dengan bergeliatnya industri musik bawah tanah yang masih menyajikan musik yang beragam dan menarik untuk diikuti.

Ada menjadi bagian segala macam bentuk pergerakan DIY (Do It Yourself), dimana ketika arus utama terasa membosankan dan tidak menuliskan apapun sebagai penanda sebuah era, maka kita (yang merasa peduli dengan musik Indonesia) lah yang menjadi bagian dari sejarah itu, menjadi bagian dari era baru, dimana sikap pintar selalu terlihat lebih baik menyikapi dominasi arus utama ketika arus utama tidak berpihak kepada kita. Apapun itu, masa keemasan musik Indonesia sebenarnya adalah ketika musik dikembalikan kepada artian sebenarnya bemain musik harus seperti apa, yakni musik untuk musik, untuk passion. Dari jamannya Koes Plus sampai Sm*sh, jika semua musisi bermusik atas nama musik, maka era keemasan itu sebenarnya sedang dituliskan sebagai khasanah ragam budaya yang terlahir di negara ini.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner