Interview: Rubah Di Selatan, Misionaris Pelestari Budaya yang Mulai Sirna

Interview: Rubah Di Selatan, Misionaris Pelestari Budaya yang Mulai Sirna

Lalu bagaimana dengan lagu "Mata Air Mata" yang juga dijadikan sebuah soundtrack film?
Sebenarnya, "Mata Air Mata" itu sebuah proyek yang ngangkat Potret Kanal Yoshiro sebagai film dokumenter. Nah, kebetulan juga kami punya lagu yang bercerita tentang itu.

Kanal Yoshiro itu orang Jepang?
Iya. Ceritanya itu adalah sebuah tragedi yang menyiasati kerja paksa Romusha pada masa lampau, lalu Yoshiro itu mengajak warga Yogya untuk nggak usah ikut Romusha, dan warga Yogya bikin Kanal Yoshiro (selokan Mataram) aja. Di satu sisi juga, Yogya potensi taninya cukup, tapi nggak punya cukup air di sana. Ada juga kata-kata di lagu "Mata Air Mata", "Bumi mataram biso subur lan poro kawulo biso makmur, yento kali opak lan kali progo biso nyawiji" (Tanah mataram bisa subur dan makmur, kalau sungai opak dan sungai progo bisa bersatu). Kalau zaman dulu, dari yang kami baca, adalah hal yang tidak mungkin untuk menyatukan dua kali ini untuk melewati Yogyakarta, karena pada waktu itu kondisi kota Yogyakarta juga gersang dan selokan itu juga merupakan siasat Sultan untuk menyelamatkan warga Yogya dari kerja paksa tadi. Dulunya, itu menjadi hal yang sakral. Tapi, semakin ke sini dan semakin ditinggalkan, sampai akhirnya dibuat sebuah film dokumenter.

Lalu bagaimana kelanjutan dari film tersebut?
Dulu sempat screening beberapa kali. Cuma, kalau untuk disebarluaskan masih belum ada kabar lanjutan.

Kalian kan main musik folk nih, terus kalian juga menggunakan beberapa alat musik tradisional saat kalian perform. Ada alasan khusus nggak kenapa menggunakan alat itu?

Kami ingat lagi waktu awal pembuatan Rubah Di Selatan. Karena ketertarikan kami di akademisi seni dan background-nya musik tradisi, akhirnya kami mulai latihan di kost-kostannya Rony dengan instrumen tradisional. Mengapa kami milih instrumen tradisional ini, karena kami pikir kekayaan Indonesia saat ini perlu kami bawa dengan cara yang baru, dan mungkin dengan cara ini kami bisa bareng-bareng mengajak dan menyadarkan bahwa ternyata asyik juga jika instrumen tradisional dikolaborasikan dengan musik barat. Pemilihan instrumen yang kami mainkan ini adalah alat-alat yang simple dan mudah digunakan. Nggak cuma dari medium, tapi juga ide. Kami menggunakan ide-ide yang jarang ditemui dan lebih dekat dengan unsur folklore. Kami kembangkan, dan kami satukan dengan musik Rubah Di Selatan. Artinya, kami jelas nggak bisa lepas dari tradisi, karena itu yang membangun Rubah Di Selatan sampai saat ini.

"Artinya, kami jelas nggak bisa lepas dari tradisi, karena itu yang membangun Rubah Di Selatan sampai saat ini."

Kalau bicara tentang masalah lirik dan korelasinya dengan musik folklore?
Kalau masalah untuk penulisan, kami masih awam, karena kami dari seni rupa dan awam masalah musik. Mungkin banyak yang bertanya-tanya gitu ke kami, "kok lirik lagu Rubah Di Selatan banyak yang bahasa Inggris?". Itu bukan karena kami tidak mencintai bahasa Indonesia. Persepsi itu kami patahkan lewat lagu-lagu seperti “Merapi Tak Pernah Ingkar Janji” dan “Mata Air Mata” yang pakai bahasa Indonesia. Mengapa kami pakai bahasa Inggris, karena kami ingin menyampaikan ke semua orang bahwa inti keluhan kami dengan keluhan di seluruh dunia itu sama. Bahwa budaya semakin ke sini semakin krisis.
Jadi, kalau masalah penulisan-penulisan memang ke arah kearifan lokal dan melihat diri sendiri juga. Sejauh ini, kalau untuk kearifan lokal kami masih di sekitaran Yogya aja, karena kami pingin gali semua kultur yang ada di Yogya dulu. Ada di antara kami masih terikat sama isitilah kayak, "wong Jowo ilang jawane" (orang Jawa telah hilang Jawanya). Jadi, mempelajari lagi dari hal kecil, seperti kepercayaan lokal dan jargon-jargon Jawa yang kami angkat ke istilah lain yang menarik.

Eksplorasi apa kira-kira yang bakal kalian gali ke depannya?

Pingin mengkaji lagi tentang berbagai hal yang ada di publik, baik salah atau benar mengenai budaya, kami coba angkat di musik Rubah Di Selatan. Secara teknis, teman-teman bisa menyampaikan apa yang kami gambarkan, secara pesannya pun kami tahu mesti ngomong seperti apa. Sebenarnya, kami ingin menggali hal-hal yang sudah mulai hilang. Mulai mencari lagi bahan-bahan yang jadi akarnya berkesenian dan budaya Yogyakarta saat ini untuk diangkat menjadi karya musik.

BACA JUGA - Interview: Mengkonotasikan Senang-Senang Lewat "Body Won't Stop"

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner