Guyub, Kearifan Lokal Sekaligus Cultural-Asset Bagi Setiap Indie Music-Scenes

Guyub, Kearifan Lokal Sekaligus Cultural-Asset Bagi Setiap Indie Music-Scenes

Tulisan pendek ini termasuk dalam serial artikel: “10 Tabiat Anak Band Yang Bisa Mengancam Keutuhan Kultur Musik Indie” (Bagian Pertama)

Tentu kita masih ingat masa beberapa tahun lalu, di mana musik indie masih dipandang sebelah mata oleh pemegang industri belantika musik nasional. Namun, persatuan dan kebersamaan musisi indie senantiasa tak terpadamkan. Saat itu, pergerakan para musisi indie bisa terus berkembang, berkat adanya pertemanan solid antar anak band.

Membangun jejaring atas dasar pure pertemanan ikhlas, adalah salah satu cultural asset yang perlu kita jaga baik-baik. Kebiasaan guyub (baca: mempertahankan kekeluargaan antar anak band), hingga kini terbukti sukses membuat beberapa kota di Indonesia tak hanya dijuluki sebagai penghasil banyak musisi handal semata, namun juga disebut-sebut sebagai ‘mutual friend city’ dengan banyak lingkungan potensial. Dalam arti, dengan terjalinnya kedekatan berkualitas antar satu musisi dengan banyak musisi lainnya, pada akhirnya membuat musik indie punya ‘kerajaan’ tersendiri yang tersebar di banyak kota. Komunitas semakin kokoh, esensi musik sebagai bahasa universal dan pemersatu manusia pun, akan semakin mendekati bukti kongkritnya.

Bicara soal sosialisasi dan pergaulan anak musik yang luas dan heterogen, wajar bila kita pernah berselisih dengan sesama anak band. Hal itu wajar, yang tak wajar adalah bilamana kita (secara tak sadar) malah terlanjur nyaman dalam memperbesar masalah yang ada. Contohnya, dengan menjelek-jelekkan orang lain di belakang. Istilah lainnya adalah bad-gossip, bergunjing, atau ghibah. Hal ini terkesan sepele, namun jangan salah, dari sinilah duri dalam daging bisa tumbuh-kembang, menjadi gurita dalam jantung.

Ketika sesama anak band malah keasyikan ngomongin keburukan band lain ‘di belakang’ (apalagi kondisinya saling kenal), hal ini hanya akan membuat pertemanan terasa semu. Akan berbahaya, apabila musik indie nantinya berisi pelaku industri kreatif yang attitude-nya ‘sebelas-dua belas’ dengan oknum-oknum kelas atas – yang selama ini dilawan oleh spirit indie movement.

Bila kita masih bersikap demikian, sampai kapanpun kita tak akan mampu melatih diri jadi problem solver yang baik. Terlebih lagi, di zaman yang semakin maju ini, jiwa dan mentalitas anak band tentunya perlu lebih gentle dalam menghadapi persoalan, baik itu masalah pribadi atau problem-problem lintas gap. Pepatah dalam bahasa Sundanya adalah: “Hade goreng ku basa” – terjemahan: “Kebaikan dan keburukan tergantung kualitas bahasa (dan komunikasinya)”.

Semoga semangat kita dalam memperbaiki musik indie dibarengi juga dengan spirit membangun attitude yang semengagumkan lagu-lagu kita.

Sumber foto : mp_d4rl6ah Devian Art

BACA JUGA - Potensi, Kendala, dan Alternatif Solusi untuk Musik Ekstrim Indonesia dari Dom Lawson (Part 3)

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner