Ekperimentasi Audio, Visual, dan Interaksi dalam Satu Gelaran Showcase Milik Maladialum

Ekperimentasi Audio, Visual, dan Interaksi dalam Satu Gelaran Showcase Milik Maladialum

Pada 12 Februari 2017 lalu, band eksperimental folk yaitu Maladium berhasil mengadakan showcase dengan tajuk “Experiment Experience”. Dalam showcase ini, Maladialum menyertakan orkestra dan berbagi berbagai pengalaman untuk semua yang hadir. Konsep ini merupakan konsep yang tidak biasa diangkat oleh band-band tanah air, maka sudah sepantasnya mereka mendapat apresiasi yang pantas.

Bersama Chandra Aghestza (Manajer), Briegel Bagenda (Gitar, Vokal), diselingi Ponco Bramantyo (Gitar) dan Raditya Iskandar (Bass), Maladialum berbagi cerita yang menakjubkan seputar showcase yang mereka helat di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

 

Dari tajuk showcase Maladialum “Experiment Experience”, sebenarnya definisi sesungguhnya itu apa?

Briegel: “Experiment Experience” itu berawal dari aku bantuin audio instalasi pacarku pas bikin pameran di Swiss. Waktu itu, dia minta gimana outputnya bisa empat atau enam, lebih dari dua, karena kan secara logika output itu L (Left) - R (Right), karena input kita telinga cuma L-R. Aku pikir, ‘kamu melanggar hukum audio. Kalau mau kayak gitu, mixer kamu dua juga’. Akhirnya kami nanya-nanya, bisa pinjam barang apapun karena di Zürich der Künste dengan major music, semua tersedia, ya udah aku bereksperimen disana, menggunakan aux dan perangkat lain. Kami pakai Saffire dan dua graphic card, dikombinasi sama mixer CL dengan 30 output. Nah, eksperimen ini menjadi eksperimen audio yang aku olah sendiri. Jadi, eksperimen audio itu bukan hanya ngomongin output input, tapi juga akustik ruangan. Gimana mengkolaborasi akustik ruangan supaya menghilangkan gain before feedback dan lain-lain tapi semua audionya tetap keluar. Ketika di gigs, orang yang paling jauh dari panggung kualitas mendengarnya akan berbeda dengan orang yang di depan panggung. Aku pingin bikin semua ngerasa sama dan semua orang enak dengarnya. Ini adalah hasil dari uji tesis pacarku di Swiss dan aku bawa kesini.

Tadinya, aku pingin ngasih eksperimen audio dan visual, tapi visual gagal karena budget. Kami nawarin eksperimen audio yaitu gimana orang merasakan audio quadrophonic yang di-install sama surround, terus eksperimen visual yang tadinya menggunakan LED dan audionya tersinkronisasi sama visual—berdasarkan frekuensi dan getaran—tapi 3D, jadi ada layer, cuma karena budget gak ada jadi dekorasi normal tapi tetap pakai fluorescent. Jadi, orang dapat audio experience, visual experience, dan interaksi. Tadinya kami akan ngasih alat musik ke penontonnya. Kami niatnya naruh beberapa shaker telur dan flute burung di bawah beberapa kursi dan hanya mereka yang lucky yang menemukan itu. Cuma, karena kemarin terlalu hectic, kami lupa nyimpen di bawah bangku, padahal udah disediakan. Akhirnya, interaksinya kami coba dengan gandengan seluruh penonton dengan musisi se-stage, semua gak boleh ada yang putus dan kami coba rasain frekuensi.

Lebih tepatnya, experience itu gak cuma dari musik dan soundscape, tapi kami nyertain alam bawah sadar. Karena, setiap frekuensi itu ada penyembuhannya, misalnya repairing DNA, liberate fear and guilty, awaken. Frekuensi ini dulu digunakan oleh nenek moyang kita untuk nyembuhin orang dengan media nyanyian. Kayak adzan, itu kan sebenarnya yang dimainkan nada dengan frekuensi tertentu, kita kan jadinya tenang dan nyaman. Di Tibet misalnya, mereka gunakan overtone, suara throat singing sebagai media penyembuhan. Tiap frekuensi punya fungsi masing-masing. Banyak orang-orang menggunakan audio dengan nggak optimal. Ke kitanya jadi salah fungsi, malah untuk perang, menyadap, dan lain-lain.

Disini tanpa sadar, dari delapan speaker, masing-masing punya frekuensi tertentu. Kami bikin kayak hexagram untuk itu. Orang-orang yang hadir di showcase gak tahu, padahal secara gak langsung udah aku kasih, cuma karena gak bisa dengar dipikirnya gak ada apa-apa. Mainin alam bawah sadar orang dengan audio ini gak membahayakan. Pinginnya, pulang dari showcase ini bisa menjadi media penyembuhan dari rutinitas yang melelahkan. Aku manfaatkan frekuensi-frekuensi itu.

Chandra: Singkatnya, ini adalah eksperimen audio. Nah, berujung ke gimana caranya supaya eksperimen kami jadi experience penonton. Tentang frekuensi itu, meskipun gak kedengaran, itu berefek ke tubuh. Secara gak sadar kuping kita menangkap tapi gak terdengar.

 

Apa aja materi yang dibawakan Maladialum di showcase kemarin?

Briegel: Dari 12 lagu yang kami bawain, delapan itu lagu baru semua. Yang udah pernah direkam itu cuma empat, “Sukma”, “Suara Bumi”, “Matahari”, dan “Sendiri”. Salah satu lagu baru itu judulnya “Gurun”. Jadi sebelum konser aku tidur, terus dapet inspirasinya itu aku lagi di padang gurun, terus ada nada itu. Kemarin pas bikin “Gurun” tuh ceritanya gini. Pacarku aktivis di Syria, terus dia ke Yordan. Terus dia bilang, “Gel aku di Petra dan dia sendirian, tidur di gurun yang banyak kalajengking.” Terus dia nanya ke orang lokalnya, gimana kalau dia kena racun kalajengking atau ular, dan mereka menjawab, “kalau kena, naik aja ke atas batu,” padahal gak ada batu disana. Jadi, saran ini maksudnya apa? Maksudnya itu ya berserah aja. Dari dia telepon itu, aku kebawa mimpi. Aku mimpi tidur di batu tengah gurun, terus ada suara burung elang dan nada itu. Dibuatlah lagu “Gurun” dan instrumental.

Chandra: Jadi yang kemarin tuh 80% lagu untuk album kedua. Album ini udah dalam proses penggarapan dan showcase kemarin sebagai salah satu sarana memperkenalkan lagu-lagu terbarunya Maladialum ke orang-orang yang hadir disana.

 

Kemarin itu penonton dibagi ke beberapa tempat, yaitu Nirwana, Spiritual, Astral, dan Roots. Sebenarnya, apa kelebihan dari masing-masing tempat?

Briegel: Banyak orang bilang kasta. Nah, itu sebenarnya nggak enak, malah jadi kesenjangan sosial jatuhnya. Kesannya mereka dibedakan. Aku gak suka kayak gitu. Ini kan cuma sekedar tingkatan level. Kalau kalian duduk disitu, levelnya lebih tinggi, bukan dari stratanya tapi experiencenya. Itu lebih ke tingkatan dari state of mind dari tengah sampai ke para maha Nirwana. Jadi, aku bikin level statenya begitu. Bukan kasta.

Chandra: Ini pakai analoginya aja. Nirwana ada di tengah, dengan audio di sekelilingnya. Nirwana tepat di tengah, bisa nonton panggungnya bagus, surround sekelilingnya pun kerasa, dia dapat semua suara.

Briegel: Nirwana itu di tengah, audio ada di sekeliling. Di lantai bawah itu ada delapan audio. Nah, audio itu kan seperti radar. Otomatis, kalau dia ada di tengah, dia kena full. Kalau gak tepat di tengah, dia gak benar-benar dapat. Di lantai atas kami kasih ambience angin, kalau di bawah ambiencenya sungai, mengalir ke tengah. Ada juga sisipan suara-suara kayak burung elang, atau monyet, yang akan terdengar semuanya kalau kamu ada di tengah. alau kamu bayangkan skema radarnya, ini kan sesuatu yang tidak terlihat, ini tuh sacred geometry, semacam ada prisma atau kristal. Makanya, kalau di tengah itu paling strategis. Tapi, ada satu orang yang mengalami bad experience. Ternyata orang tersebut agak kecewa karena tempat duduknya ditukar.

Chandra: Ada sedikit human error di depan. Kan siapa cepat dia datang, dia berhak memilih tempat duduk, kayak di bioskop. Orang itu memang udah beli dari pre-sale, tapi dia memang gak datang dari awal jadi cuma dapat di samping. Itu management failure kami sih. Sebenarnya, harga tiket itu sama semua, seratus ribu. Yang membedakan adalah paketnya. Ada yang dapat baju, tote-bag. Kalau tempat duduk semua sama.

Briegel: Aku sih ngukurnya harga mahal itu dari experience, bukan merchandise. Misalnya, kalian nonton band yang biasa dengan tiket lima puluh ribu, terus aku kasih kalian chambers, ada string, woodwind, brass, which is produksinya beda, apalagi kalau Maladialum main full set, bukan tanpa orkestra. Nah, ini bayar seratus ribu udah dapat semuanya. Audiens disini agak kurang melihat overhead, logistik, dan lain-lain. Semua kembali lagi, kalau kita dapat sponsor ya turun harga. Nilai-nilainya udah agak aneh. Makanan bisa jadi harga tertinggi, karya seni seolah gak ada harganya.

 

Di skala 1-10, berapa penilaian dari teman-teman Maladialum untuk performance kemarin?

Briegel: Aku sih ngerasanya di 7 ya, pengaruh dari monitor. Jadi sebenarnya, check soundnya cuma sebentar, aku gak bisa denger suara string dan drumnya itu delay, dari source dan monitor itu ada jeda. Itulah resiko kalau kita gak pakai acrylic di drum. Itu problem kalau main di ruang orkestra besar dan gak pakai acrylic, pasti delay. Itu membuat tempo jadi lari.

Ponco: Ada di skala 7,5. Kendala teknis, sih. Check soundnya gak begitu lama. Yang harusnya gak kami kerjain jadi harus kerjain, di minggu-minggu sebelumnya. Bikin kita capek, jadinya kurang latihan.

Radit: Perform kemarin ada di angka 7. Maladialum bisa lebih baik dari itu.

Chandra: Kebanyakan kendala itu memang karena hal-hal teknis sih. Kalau dari aku, lihat segi performa karena aku show directornya, menurut aku ada di angka 8. Angka itu dari yang aku lihat ketika mereka latihan dan di panggung. Euphorianya pun menambah satu poin.

 

Kenapa check soundnya bisa jadi cuma sebentar?

Chandra: Karena, seharusnya alat masuk dan mendekorasi stage itu di H-1, cuma ternyata di hari itu tempatnya udah booked, kami baru bisa masuk jam 12 malam. Terus, kalau mau nge-set stage decoration plus alat musik itu gak bisa bareng, karena pasti dipindah-pindah lagi. Akhirnya, stage decoration dulu, selesai jam enam pagi, kami istirahat bentar, sekitar jam delapan set alat musik yang banyak banget dan super duper kompleks, alhasil jam tiga atau empat sore baru bisa check sound sampai sebelum magrib. Teknis-teknis gitu sih dan manajemen waktu jadi berantakan. Antara member Maladialum dan orkestra itu juga kerasa berbeda, soulnya berbeda. Semoga di acara selanjutnya lebih OK, cuma masih kita rahasiakan tanggalnya, hahaha.

Briegel: Sebenarnya bisa mencapai kata perfect kalau semuanya smooth, dan pengaruh dari perasaan musisi juga berpengaruh ketika dia punya sense of belonging. Ketika kami mengundang dari luar personil Maladialum, mereka pasti bisa kalau dikasih partitur, tapi pasti ada yang fals, gak menguasai di luar kepala, gak benar-benar tahu materinya. Itu yang bikin gak perfect. Aku pinginnya mereka latihan lebih dari tiga kali, bukan karena ada partitur, tapi karena ada rasa memiliki. Ketika seseorang punya sense of belonging, dia bisa improvisasi aja, emang udah menguasai si lagu. Tapi aku appreciate mereka, semoga nantinya bisa lebih sering latihan, chemistry terjadi dan hasilnya lebih bagus. Chandra pun gak menguasai lightingnya karena lagunya pun belum dengar.

 

Orkestra itu diambilnya darimana?

Chandra: Campuran. Jadi di Jakarta itu ada komunitas biola, komunitas string lainnya, berpusat di Taman Suropati, beberapa kita ambil darisana, ada juga dari SAE.

Briegel: Ada dari Amadeus, trombon dari orkestranya Erwin gutawa, sisanya dari Taman Suropati, Suropati Chambers.

 

Showcase kemarin adalah experiment experience dan berkolaborasi dengan orchestra. Ide awalnya yang mana sih? Experiment experience dulu atau orchestra dulu. Karena, percuma kan kalau experiment experience tapi dengan musik yang gak menunjang.

Briegel: Ini menarik nih. Dulu kan ada tur Berlin sampai ada masalah akhirnya gak maksimal. Akhirnya tercapai Berlin sama Swiss. Akhirnya aku pulang, terus tiba-tiba di bandara, di mobil, aku dikasih PDF tentang Maladialum mau bikin showcase. Aku menolak waktu itu, karena aku rasa Maladialum gak siap, kami gak pernah latihan, orangnya juga gak jelas komitmennya. Chandra bilang ini untuk membayar utangnya gak bisa bawa Maladialum tur di berlin dan ada acara ini ada sponsor. Cuma balik lagi, aku mikir Maladialum gak siap, akhirnya vakum tuh gak ada yang dikontak. Aku cuma kontak Ponco. Akhirnya aku bilang, kalau emang mau tetap lanjutin showcase, kalian siapin orkestra. Tapi, orkestra yang bawain lagu Maladialum, akunya nonton di bawah. Gitu tadinya maunya. Kami kasih partitur, kami gak usah main, kami duduk nonton versi instrumental. Kesininya, coba Briegel aja dan orkestra. Kesininya lagi, coba latihan, ternyata bagus. Ya udah double aja, hahaha... Awalnya gitu.

Chandra: Ini juga utang aku dari ketidakmaksimalan tur Berlin. Terjadinya showcase ini juga obrolan antara aku dan Mas Briegel. Ketika dia pulang dari Swiss, aku tembak dia untuk ngajakin bikin showcase. Untuk konsep gabungan antara orkestra dan Maladialum juga adalah perjalanan panjang yang dijalani kami selama tiga bulan. 

Briegel: Iya, berubah terus. Awalnya memang udah ada orkestranya sebelum bikin eksperimen. Terus kita cari nama, terus kita pikir kayaknya keren kalau ada orkestra dan kita bikin surround, karena tempatnya di teater kecil juga. Lihat tempatnya juga akustik ruanganya udah bagus, gak pake mic juga udah enak. Akhirnya muncullah nama itu.

 

Ide experience itu dari?

Briegel: Pas lihat akustik ruangannya sih. Pas diajak sama Chandra sebenarnya kami udah ada obrolan tentang itu. Pas pulang dari Swiss, aku langsung bedah kasus dari instalasi exhibition yang dikerjain Angela (pacar Briegel). Pas ngobrol sama expert juga itu sampai ada debat dari kami. Ngebedahnya dalam artian aku masih gak percaya kok ada hal yang gak bisa dilakuin. Logikaku pasti bisa dilakukan tanpa alat, karena kalau alatnya disediain, budgetnya  seratus juta. Akhirnya dari situ muncul, bedah lagi catatan-catatan tentang AVI (Audio Visual Interface) untuk pelajari frekuensi, feedback, acoustic room. Manusia nyiptain simple complicated, tapi creativity itu complicated jadi simple, itu kata Charles Mingus. Kami juga debat sama Bemzharper (Bambang Hari Permana), sound engineer. Ujungnya, saya bilang pakai sepuluh speaker dengan output yang lebih banyak dari speaker itu. Karena kan dia paralelnya digabungin ke audio interface lainnya. Nah sayangnya, hasil rekaman ini cuma diambil dua, karena kehabisan output. Harusnya kami bikin mixing, jadi semuanya masuk dalam satu audio. Chambersnya juga masuk, kerekam semua. Nah, itu akhirnya pakai stereo aja. That’s why kasus ini menarik.

 

Terakhir, apa rencana Maladialum ke depannya?

Briegel: Ke depannya, pingin ada eksperimen lainnya. Balik lagi, ini kan eksperimen, kalau berhasil eksperimennya mau bikin result yang sesungguhnya, yang udah kita pahami. Bikin yang lebih besar lagi.

Chandra: Future plan kita launching album dan release party, dan pingin juga di luar Jakarta. Tapi, semua masih tergantung semesta.

Foto: Endy Febrinand

BACA JUGA - Inilah Fakta-Fakta yang Membuktikan Maladialum Memang Pantas disebut Unik dan Kreatif

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner