Dari Bawah Tanah Sampai Ranah Musik Dunia

Dari Bawah Tanah Sampai Ranah Musik Dunia

Sumber foto : Dok. Pribadi WMBI 2017

Dengan masuknya arus informasi, membuka mata banyak musisi-musisi di Indonesia untuk bisa tampil dan merasakan atmosfir musik dunia dari akarnya.

Indonesia pernah menuliskan catatan menarik tentang musik di era orde lama dan orde baru, ketika Koes Plus pernah dipenjara karena memainkan musik barat seperti The Beatles. Masuknya budaya barat melalui musik ditakutkan akan mempengaruhi jati diri bangsa yang belum lama dibentuk, sejak Indonesia memproklamirkan sebagai negara yang merdeka pada tahun 1945. Hal ini membuat Sukarno cemas, dan berinisiatif memenjarakan band Koes Plus, karena dianggap sebagai pemicu masuknya budaya barat lewat musik.

Masuk era orde baru, ada nama Iwan Fals, yang dianggap terlalu lantang mengkritik pemerintah era presiden Suharto, hingga hal ini berbuntut pelarangan tur di beberapa kota dimana Iwan akan menggelar konsernya. Tidak cukup sampai disana, Iwan juga pernah diamankan intelejen negara, karena lagunya yang dianggap menghina kepala negara pada lagu “Demokrasi Nasi” dan “Mba Tini”. Berhari-hari Iwan diinterogasi, sampai akhirnya dia dinyatakan bebas karena tuduhan itu tidak terbukti.

Kini, musik di Indonesia tidak lagi menuliskan catatan serupa seperti dua paragraf awal tadi, dan bahkan bisa melebarkan musiknya ke luar negeri. Dengan masuknya arus informasi yang seolah membuka mata banyak orang untuk mau lebih “ngulik” tentang banyak hal yang ada di dunia, atau dalam hal ini dikerucutkan lagi pada dunia musik. Hal ini kemudian memancing musisi-musisi di Indonesia untuk bisa tampil dan merasakan atmosfir musik dunia dari akarnya. Seperti misalnya negara Jerman, yang kuat dengan budaya musik metalnya, atau pun Inggris dan Amerika, yang diakui atau tidak menjadi sentral/pusat industri musik dunia.

Lepas dari industri musik arus utama di Indonesia, ada sekelompok orang yang bergerilya dengan kecintaan dan hasrat yang sama tentang musik di ranah bawah tanah. Selama lebih kurang 30 tahun pergerakan ranah musik independen, khususnya musik extreme seperti metal tumbuh dari spirit kolektivisme. Namun baru sekitar tahun 2008 kesadaran kolektif itu mulai mendapati satu hal yang siginifikan, dan membawa kolektif ini melebarkan sayapnya ke luar negeri. Seperti misalnya dengan apa yang dilakukan oleh band Noxa ketika mereka tampil di Obscene Extreme Festival, Ceko, pada tahun 2010, atau pun band Keras Kepala yang melakukan tur di 32 kota dan enam negara di Eropa.

Namun gaungnya masih kurang terasa, dan kurang bisa menjadi trigger bagi band-band lainnya di tanah air. Sampai akhirnya ketika terjadi tragedi AACC, yang berbuntut banyaknya pelarangan acara-acara musik, khususnya musik extreme, membuat komunitas musik bawah tanah Bandung mencari cara agar komunitas ini tetap hidup, mengingat komunitas yang makin membesar, dengan persentasi sebesar 1,4 persen populasi di Bandung, atau sebanyak 40.000 orang. Hal tersebut bahkan diakui oleh band Death Metal dunia Napalm Death, ketika mereka manggung di Indonesia, dan mendapati komunitas metal yang besar disini. Sehingga mereka berpikir jika komunitas musik extreme di Indonesia potensial, dan hal tersebut perlu diberitakan pada dunia, agar mata dunia tertuju ke Indonesia.

Kesadaran untuk melakukan penetrasi kolektif main di luar negeri, bisa terealisasi pada tahun 2015 lewat ‘Bandung Blasting’, ketika Burgerkill dan Jasad melakukan tur mereka di tanah Eropa. Hal ini menjadi trigger awal kolektif musik tanah air untuk berpenetrasi ke luar negeri, seperti misalnya Beside yang pernah menjajal Wacken Festival di Jerman pada tahun 2017, dan Down For Life satu tahun setelahnya. Untuk hal ini, Man Jasad berbagi pengalamannya ketika menjadi juri bagi 29 negara di festival Wacken Open Air. Menurutnya, salah satu yang menjadi poin penilaian juri di ajang tersebut adalah dari cara band-band tersebut memunculkan karakter negaranya masing-masing. Seberapa jauh mereka bisa berbicara tentang negaranya, dan mempresentasikannya lewat musik yang mereka bawakan.

Menariknya lagi, hal serupa juga dirasakan bukan hanya oleh band-band yang memainkan musik cadas seperti metal saja, tapi juga band-band dari ragam warna musik lain juga turut merasakan atmosfir ranah musik dunia. Sebut saja band White Shoes and The Couples Company, yang pernah bermain di Amerika pada gelaran CMJ Music Marathon dan SXSW Music Festival. Selain itu mereka juga pernah menjajal Helsinki, Finlandia, pada gelaran Modern Sky Festival tahun 2015 lalu. Atau ada juga band Stars & Rabbit yang menjajal Laneway Festival di Singapura pada tahun 2017 lalu, sampai rangkaian tur mereka ke Shenzen, Hongkong, Guangzhou, dan Manila.

Nama-nama itu hanya sedikit saja dari band-band ‘bawah tanah’ yang bisa melebarkan musiknya ke luar negeri, meninggalkan jauh band-band arus utama yang baru mencapai Asia Tenggara, atau dalam hal ini dikerucutkan lagi ke negara Malaysia. Kemerdekaan yang mereka tunjukan lewat musik terlihat dari cara mereka membawa nama Indonesia dari rasa dan estetika karya yang mereka buat, seperti misalnya band Shaggydog yang menawarkan Jamaican music rasa Indonesia lewat penuturan lagu “Di Sayidan” saat band ini melakukan tur di Belanda. Meskipun secara musik berasal dari luar Indonesia, namun sudut pandang dan cita rasa yang mereka sajikan bermuatan kearifan lokal Indonesia. Hal senada juga disajikan Mocca, yang bahkan lagunya menjadi heavy rotation di Korea Selatan, sampai lagunya jadi theme song sebuah reality show di negeri ginseng tersebut.

BACA JUGA - Menghubungkan Perancis dan Indonesia Dalam Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner