Catatan Kecil Satu Tahun Pandemi dan Ruang Nalar Musisi Bermusik

Catatan Kecil Satu Tahun Pandemi dan Ruang Nalar Musisi Bermusik

Dari perang dan senjata, kemudian beralih pada fenomena wabah yang terjadi satu tahun belakangan ini. Ragam musisi menuangkannya dengan semua kapasitas dan warnanya masing-masing

Jika bicara objektif, rasanya semua lagu atau produk musik akan terdengar bagus-bagus saja selama itu mengacu pada notasi dan ritmis yang selaras, pula harmonis. Namun kemudian sebuah lagu menjadi punya ‘nilai’ ketika bisa menangkap sebuah potret zaman dan bisa bicara lebih sebagai sebuah respon si musisi dengan isu yang terjadi. Lagu “Imagine” dari John Lennon mungkin menjadi salah satu yang paling tepat menggambarkan ini, bagaimana ketika dia dengan semua kepekaan rasa yang dia punya menentang adanya peperangan pada era Perang Vietnam. Gerakan menyuarakan perdamaiannya pada 1960an hingga awal 1970-an bahkan sempat membuat gerah Presiden Richard Nixon dan menganggap Lennon sebagai musuh nomor satu, hingga pada tahun 1972 visa John Lennon dicabut dan dia dideportasi dari Amerika.

Gore Vidal, seorang penulis terkenal asal Amerika menuturkan dalam film dokumenter "The U.S. versus John Lennon" : "Siapa saja yang bernyanyi tentang cinta dan harmoni akan berbahaya bagi seseorang yang bernyanyi tentang kematian dan pembunuhan.". Namun lewat lagu "Imagine" Lennon justru mengajak pendengar membayangkan tentang dunia yang jauh lebih damai, tanpa seorang pun yang membunuh dan terbunuh. "War is over, if you want it", begitu ujarnya. 

Satu hal yang rupanya sejalan pula dengan yang Iwan Fals rasa kala dia bernyanyi “andai dunia tak punya tentara dan tak ada perang yang makan banyak biaya” (lagu “Pesawat Tempur”-red). Walau dalam konteks personal demi mendapat 'sang pujaan hati', (simak penggalan lirik ini : "Oh andai saja dana perang untuk diriku, mungkin kau mau singgah dan bukan hanya tersenyum"), namun lagu tersebut menyoroti dua hal krusial tentang dunia tanpa senjata dan perang di dalamnya. Lucunya, Iwan sendiri merupakan seorang anak tentara, yang cukup lantang menyuarakan dunia tanpa senjata dan perang di dalamnya.

Dari perang dan senjata, kemudian beralih pada fenomena wabah yang terjadi satu tahun belakangan ini. Seperti halnya John Lennon dan Iwan Fals, musisi ‘hari ini’ pun masih menyalakan kreasi dan kepekaan rasa yang dia punya untuk merespon isu yang terjadi. Ragam musisi menuangkannya dengan semua kapasitas dan warnanya masing-masing. Ada yang menjadikannya serius, namun ada juga yang menuliskannya dengan santai dari sudut pandang sehari-hari. Salah satunya Iga Masardi lewat lagu bejudul “Krisis Hiburan”.

Iga yang biasa hadir dengan penulisan lirik dan musik yang 'berjarak' dengan pendengar, kemudian membuat plot twist dengan melahirkan lagu santai tentang kehidupan orang kala pandemi. Dalam sudut pandang yang Iga paparkan, pandemi kemudian berbanding lurus dengan krisis hiburan karena ragam keriaan diberhentikan, hingga semua kesenangan hanya bersumber dari ponsel pintar bernama ‘hiburan virtual’. Namun nyatanya hidup harus terus berjalan, sebagai manapun bosannya kita di dalam rumah, dengan konsistensi mutasi rekening dan token listrik yang terus menyala.

Iga tentu saja tidak sendiri, sebagai musisi yang merespon pandemi yang terjadi setahun belakangan ini. Ada Saturday Night Karaoke dengan lagu “Pandemic Generation”, yang berkaitan erat dengan generasi hari ini yang ‘sialnya’ menjadi identik dengan isu pandemi, dari mulai konser online, hingga ketika mereka menyandang gelar wisudawan/wisudawati online, karena anjuran pemerintah untuk diam di rumah. Saturday Night Karaoke menangkap itu jadi sebuah keresahan dengan irama punk rock nya yang enerjik, namun disatu sisi menjadi getir kala dihubungkan dengan pandemi yang terjadi.

Bukan lantas menjadi latah karena band-band lain juga merespon isu pandemi lewat karyanya, Prabu, si penulis lagu ini mengaku jika lagu tersebut memang lahir secara natural karena kebosanannya di rumah, lengkap dengan kenyataan pahit jika dia baru di PHK dari tempatnya bekerja. Satu hal yang kemudian sejalan pula dengan Obat Macan kala dia meneriakan “2020 bangsaaat” lewat lagu “Kumpul ga Kumpul Asal Makan”. Lewat lagunya dia seolah menepis apa yang pernah Slank nyanyikan lewat lagu "Makan ga Makan Asal Kumpul". Sebaliknya, bagi Obat Macan, perkara menyambung hidup adalah mutlak, dengan atau tanpa teman berkumpul, bisa makan menjadi sebuah keharusan. Karena seperti kata iklan, "lo rese kalo lagi laper". 

Mungkin akan banyak yang setuju dengan Obat Macan dengan teriakan 2020 bangsat tadi. Dari urusan hajat hidup hingga perkara krisis hiburan jadi sesuatu yang layak mendapatkan jari tengah, pertanda kita jengah dengan pandemi yang terjadi. Kalau kata Seringai sih “persetan 2020!”. Untungnya kalimat itu kemudian diaplikasikan dalam bentuk kaus, dan laku, hingga perkara hajat hidup masih terbilang aman bagi Seringai, meski band ini tidak mendapat panggung setahun belakangan ini. 

Kembali pada bahasan tentang sebuah lagu yang menjadi punya ‘nilai’ ketika bisa menangkap sebuah potret zaman. Hal tersebut rupanya diamini pula oleh grup ska legendaris, Tipe X yang pernah membuat lagu tentang fenomena boyband. Meski skalanya hanya seputaran tren di industri musik tanah air, namun apa yang Tipe X lakukan merupakan sebuah cara mereka memotret fenomena zaman, di mana kala itu boyband menjamur dimana-mana.

Diakui atau tidak, musisi kemudian menjadi seorang pencatat sejarah, dan jika kita mendengarkan karya mereka bertahun-tahun kemudian, kita akan tahu apa yang terjadi pada saat lagu itu dibuat. Kita akan tahu jika lagu "Imagine" dari John Lennon adalah peristiwa sejarah saat era perang Vietnam, dan seterusnya, saat mendengarkan lagu "Pandemic Generation" dari Saturday Night Karaoke maka kita akan tahu jika lagu tersebut adalah respon dari isu pandemi yang terjadi. Mungkin akan menarik kala membicarakan lagu-lagu hari ini pada sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Bahwa pernah suatu masa di dunia, hampir semua musisi berbicara dan menulis tentang pandemi dalam lagunya. 

BACA JUGA - Catatan 13 Tahun Perjalanan Album ‘Time for a Change Time to Move On’, Pure Saturday

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner