“Bohemian Rhapsody”, RUU Permusikan, dan Sebuah Formula Usang

“Bohemian Rhapsody”, RUU Permusikan, dan Sebuah Formula Usang

Namun lepas dari perdebatan itu, RUU Permusikan ini diakui atau tidak menjadi ironi tersendiri juga, disaat band-band tanah air menginvasi dunia dengan musiknya, sementara di negerinya sendiri masih berkutat seputaran wacana dengan pemaparan logika yang jauh mundur ke belakang. Riuh dengan hal-hal yang sebenarnya menyoroti sesuatu yang mendasar tentang kebebasan berekspresi. Ini seakan mengingatkan kembali saat Koes Plus (yang kala itu masih memakai nama Koes Bersaudara) melahirkan album To The So Called "The Guilties", yang dibuat berdasarkan pengalaman mereka ketika di penjara. Atau saat Iwan Fals diinterogasi selama 14 hari karena membawakan lagu “Demokrasi Nasi” dan “Mba Tini”. Dua lagu itu dianggap menghina kepala negara, yang saat itu dijabat oleh “The Smiling General”, Soeharto. Jika hal itu terjadi lagi karena RUU Permusikan itu tadi, tentunya menjadi suatu kemunduran berpikir yang cukup jauh, di era pilihan mendengarkan musik sudah dengan satu kali klik melalui gawai pintar masing-masing.

Jika RUU itu disahkan mungkin kita tidak akan mendengar lagi Jason Ranti bernyanyi perihal pak penjahat, yang berjibaku dengan dosa dan keinginannya membersihkan diri agar suci maksimal, atau perihal Lisa yang ingin pulang ke rahim ibunya. Lewat lagu-lagunya, dengan segala kerendahan hati harus saya sampaikan, si Jeje ini sudah menyelamatkan musik folk dari tema-tema serupa senja dan secangkir kopi yang formulaik itu. Tidak menutup kemungkinan keluasan sudut pandang yang Jason Ranti sampaikan dalam lagunya harus terjerat pasal-pasal yang mengebiri jika RUU itu disahkan. Atau coba bayangkan jika semua band bicara tentang cinta dan patah hati, tanpa kritikan dari Efek Rumah Kaca lewat lagu “Cinta Melulu”.

Apakah penulis lagu semisal Addy Gembel harus menyuarakan tentang indahnya dunia, dengan segala yang tertera pada etalase layar kaca? Karena bicara tentang masa kehancuran di era Kaliyuga dinilai terlalu provokatif dan bisa dituding menyebarkan ujaran kebencian. Padahal nyatanya hidup memang sedang tidak baik-baik saja. Atau coba bayangkan jika Seringai sudah tidak bisa bicara perihal individu merdeka dalam lagunya. Mungkin pemandangan kepalan tangan di udara hanya akan menjadi angan-angan saja, karena RUU Permusikan menghendaki Seringai bicara soal program pemerintah tentang keluarga berencana misalnya. Lalu Arian di atas panggung berteriak “dua anak cukup...dua anak cukup. Yeaaah” . Tentu selain konyol, itu tidak akan relevan bagi Arian, yang belum memutuskan untuk berkeluarga, apalagi punya anak (i’m just saying. Peace. Hehe).

Apakah kita cukup nyaman dijejali musik yang sama? Dengan sudut pandang sempit karena memakai formula yang itu-itu saja. Kalau mas Anang yes, aku sih no. Benar musik itu harus bisa membuat pendengarnya lebih baik, tapi tak begini..... karena jodohku maunya ku mendengarkan musik dengan isian yang asik. Karena sik sik musik aku suka musik.  

BACA JUGA - Apakah Tren Musik Tahun Lalu Akan Berulang Tahun Ini?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner