A Page About – Dekat : Nilai Seorang Musisi Terletak Pada Lemah-Kuatnya Kreativitas

A Page About – Dekat : Nilai Seorang Musisi Terletak Pada Lemah-Kuatnya Kreativitas

Simak kisah perjuangan dari grup eks-Tangga satu ini. Sejak bukan lagi musisi mainstream, trio vokalis ini memilih jalur indie, seraya memberi kita gambaran kontras antara Tangga dan musik Dekat.

Saat masih di bawah nama Tangga, ketiganya tak lagi bahagia bermusik. Berbagai permasalahan internal antara label dan manajemen tak kunjung beroleh titik temu. “Proses pembubaran Tangga juga kelahiran Dekat butuh waktu cukup panjang, karena sebelumnya kami terikat dengan major label internasional, Sony Music,” ujar Tata. Permasalahan utamanya antara lain benturaan konsep bermusik dengan komersialisasi dan selera pasar. Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk reborn, membuka lembaran baru, menempuh jalur indie, sekaligus menanggalkan segala identitas grup Tangga.

Dekat resmi berdiri pada 1 Januari 2015, mengusung perpaduan musik-musik pop urban culture yang sedang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa – hari ini kita mengenalnya dengan musik EDM-pop. Mencoba mewakili suara dua rekan lainnya, Tata menyebut konsep musik Dekat dengan ‘tidak berkonsep’. Mereka jengah belasan tahun ‘dicengkeram’ oleh aneka peraturan, baik dari segi musikalitas, fashion, hingga beban target penjualan CD, dan keharusan nongol di TV sesering mungkin.

Sedangkan the only girl in Dekat, Chevrina, merasa lega karena tak lagi bermusik sambil membohongi diri sendiri. Ia bisa fokus memperkenalkan identitas musiknya kepada masyarakat. Chevrina tak memungkiri bila para pendengar akan terus membandingkan Dekat dengan Tangga. Tapi Chevrina punya prinsip, “Ketakutan terbesar sebuah grup musik bukanlah kehilangan fans, namun kehilangan freedom sekaligus rumah bermusiknya sendiri.”

Adakah amarah atau kekecewaan tersisa di dalam dada? Dengan tenang, Kamga menjawab, “Bagi saya pribadi, fase untuk mengeluh dan marah-marah sudah lewat. Terus berkarya saja. Dulu kami sudah pernah ada di suatu fase, di mana bikin lagu itu sudah seperti bikin kerupuk. Asal musiknya mellow, maka lagunya akan laku, dan kami bisa makan. Maka jelas, menjalankan Dekat tidak semudah Tangga. Kami perlu strategi mantap dalam gambling. Namun yang paling penting dari itu semua, happiness harus jadi dasar sekaligus tujuan dari proses kami berkarya,” urai pria berdarah Kamerun ini.

Kamga melanjutkan, enak atau tidaknya sebuah lagu hanyalah perkara selera. Nilai seorang musisi terletak pada lemah-kuatnya kreativitas. Mereka bertiga sangat optimis bahwa Dekat mampu menjelma jadi band yang bagus. Namun mereka juga cukup realistis, bilamana jumlah pendengar Dekat belum mampu sebanyak jumlah fans band-band pop. Bagi Dekat, berapapun jumlah fans, kehadirannya akan senantiasa cukup untuk menjadi refleksi yang indah – bahwa dalam hidup mereka, ternyata ada orang-orang yang appreciate terhadap musisi-musisi – khususnya yang bahagia menjadi dirinya sendiri.

Chevrina pun punya pesan untuk para penikmat musik Indonesia – khususnya dalam hal objektivitas dalam menghakimi bagus-tidaknya sebuah musik. Dia mengaku, dahulu sempat kecewa dengan berkembangnya hashtag #MusikBagusINA di jaringan media sosial. Kesannya, musik yang tidak masuk hashtag ini tidak bagus.

“Penilaian musik kan berbanding lurus dengan level selera masyarakat. Kita tidak bisa bilang dangdut itu jelek, R&B itu keren, atau jazz itu paling bagus. Jadi, saya pun kecewa, ketika hastag tersebut hanya berisi beberapa segmen musik saja. Bentuk fanatisme seperti ini, nantinya hanya akan membuat kita rugi. Karena kita akan menghabiskan banyak waktu untuk mengabaikan hal-hal penting yang lewat di samping kita. Walaupun, menjadi fanatik itu pilihan pribadi tiap orang,” beber Chevrina diplomatis.

Sumber foto: Official Facebook Fanpage Dekat

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner