Yang Saya Tahu dari Kancah Musik Alternatif di Taiwan

Yang Saya Tahu dari Kancah Musik Alternatif di Taiwan

Taiwan, secara luas wilayah mungkin tidak terlalu besar. Tetapi di tengah luas wilayah yang relatif kecil ini (apalagi jika dibandingkan dengan Indonesia!), Taiwan punya kancah yang sangat hidup

Hingga saya sampai di Taiwan untuk berlibur bersama pasangan pada 2020 lalu, sebelum pandemi Covid-19, saya tidak pernah betul-betul tahu apa dan bagaimana kancah musik alternatif di Taiwan. Sebelumnya, ketika berbicara tentang kancah musik alternatif di Asia Timur kita hampir selalu merujuk pada Jepang, yang sejak tiga empat dekade ke belakang memang sudah punya ciri khas-nya sendiri. Paling-paling pilihan lainnya adalah Korea Selatan, yang informasi tentang kancah alternatifnya ikut rembes lewat popularitas K-Pop dan memperkenalkan saya pada skena Hongdae. Oh iya, jangan lupakan juga Beatball Records yang pernah merilis sejumlah katalog Mocca. Selebihnya hampir saya tidak pernah mendengar apa-apa soal skena di Taiwan.

Hmm, tidak bisa juga dibilang tidak tahu apa-apa sih. Saya tahu kalau unit popkota Sunset Rollercoaster berasal dari pulau ini. Begitu juga dengan trio-math rock Elephant Gym. Sisanya nama-nama yang lingkupnya lebih eksklusif seperti Manic Sheep dan Whell Done yang pernah rilis split EP dengan band shoegaze Jakarta, See The Eye. Jadi, mungkin lebih tepatnya saya hanya tahu musik alternatif di Taiwan dalam lingkup pengetahuan umum. Tidak pada seluk beluknya. Tetapi setelah mengenal satu dua band lain, negara ini ternyata punya kancah yang begitu potensial.

Elephant Gym

Selalu jadi kebiasaan saya saat beranjak ke luar kota atau negeri, saya selalu ingin mengenal kancah lokal di wilayah yang baru saya datangi. Itu pula yang saya lakukan di kedatangan pertama saya di Taiwan. Caranya mudah saja, mulai dari mencari informasi di belantara internet, memilah lokasi yang hendak dikunjungi, dan mengirim pesan sebelum datang. Siapa tahu dibalas. Saat itu saya sudah punya ancang-ancang dua, tiga tempat. Dua distro, Waiting Room dan PAR Store, serta satu toko rekaman White Wabbit Records. Ketiganya di ibu kota Taipei. Sayang hanya dua tempat yang saya bisa sambangi karena keterbatasan waktu dan satu tempat, yakni Waiting Room yang pemiliknya ada di toko dan bisa saya ajak bincang-bincang. Dalam perbincangan yang panjang itu, singkatnya ia merekomendasikan beberapa band. Dari sinilah rasa penasaran saya akan musik Taiwan mulai terbangun.

Panjang ceritanya sampai akhirnya setahun kemudian saya kembali ke sini untuk melanjutkan studi. Tetapi lewat kesempatan ini, saya bisa mengenal kancah Taiwan lebih dekat. Merasakan atmosfernya, banyak mendengar informasi dari pelakunya, dan membayangkan banyak kemungkinan yang bisa dibangun ke depan.

Taiwan, secara luas wilayah mungkin tidak terlalu besar. Tetapi di tengah luas wilayah yang relatif kecil ini (apalagi jika dibandingkan dengan Indonesia!), Taiwan punya kancah yang sangat hidup. Festival musik yang dihelat di tiap kota hampir setiap bulannya, lebih dari dua lusin Live House di ibu kota Taipei dengan gigs yang selalu ada tiap pekan, label rekaman alternatif yang aktif, band-band dengan berbagai genre dan kemajukan ciri khas, serta sistem yang sudah terintegrasi satu sama lain.

Saat saya mencicipi gigs pertama di Taiwan, sekitar bulan November, sebulan setelah saya datang dan menghabiskan tiga pekan karantina, saya cukup terpukau dengan sistem yang terintegrasi tadi. Untuk membeli tiket, saya cukup mengunduh aplikasi yang menghimpun live house dan informasi gigs-gigs di Taiwan untuk kemudian memilih acara yang saya ingin datangi. Setelah itu, saya klik di gigs yang saya hendak tuju, pesan tiket, dan melakukan pembayaran di minimarket. Tiket dicetak dan siap berangkat!

Sebagai informasi, jika dikomparasi ke rupiah, harga tiket konser di Taiwan relatif mahal. Sekitar 300 NTD sampai 500 NTD untuk penampilan tiga empat band lokal yang setara sekitar Rp 150.000 sampai Rp 250.000. Selain itu, informasi soal gigs dan penjualan tiket juga biasanya sudah diunggah sebulan sebelum acara berlangsung. Semuanya begitu terencana.

Inhuman

Irfan 'Popish'

Irfan Muhammad (menamakan nama penanya sebagai irfanpopish) adalah penulis buku @bandungpopdarlings. Sehari-hari dia bekerja sebagai jurnalis yang bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner