Tidak Semua Orang Ingin Jadi Rock Star, Dunia ‘Terlaknat’ di Belakang Panggung

Tidak Semua Orang Ingin Jadi Rock Star, Dunia ‘Terlaknat’ di Belakang Panggung

Foto didapatkan dari Forgotten Facebook Fanpage. Kredit foto: Asep Budiman.

Ketika sound system ribuan watt dinyalakan dan lampu panggung mulai berkelap-kelip diselingi teriakan-teriakan histeris dari para pemujanya di bawah panggung, ada bagian lain yang luput diperhatikan oleh kebanyakan orang. Sebuah dunia yang luput dari silaunya lampu sorot panggung dan gempitanya sorak-sorai penonton kala mereka memuja idolanya. Dunia belakang panggung yang diisi oleh individu-individu dengan talenta teknis yang luar biasa.

Berawal dari hobi dan jalinan pertemanan, banyak musisi hebat di ranah musik independen hari ini mengawali karir mereka sebagai teknisi atau crew. Jangan membayangkan teknisi pada masa mereka mengawali karir adalah sosok yang paham terkait dengan teknis dan teori seputar alat musik yang akan dimainkan di atas panggung. Mereka mengawali segala sesuatunya dengan ketidaktahuan. Zaman di mana jaringan internet masih langka dan sangat mahal.

Tidak ada referensi narasumber maupun tempat bertanya seputar teori dan teknis. Yang menjadi modal utama saat itu adalah kecintaan terhadap musik dan rasa ingin tahu yang besar. Tumbuh besar bersama komunitas dengan kecintaan yang sama terhadap musik adalah awal dari segalanya. Secara perlahan, kesadaran kolektif terhadap kualitas produk musik mulai terbangun. Tidak hanya kualitas produksi rekaman, keinginan untuk meningkatkan kualitas pertunjukan di atas panggung pun mulai diperhatikan.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Forgotten666 (@forgotten_official) on

Ujungberung tahun 1990-an hanyalah terdiri dari satu kumpulan penggila musik ekstrim dengan jumlah band yang terbatas. Tergabung dalam satu komunitas musik pada saat itu seolah menjadi keharusan. Di tengah minimnya informasi dan akses terhadap referensi sangat terbatas, berkumpul lalu berteman dan membentuk satu wadah komunitas adalah salah satu solusi untuk keterbatasan tersebut. Dengan berkumpul, akhirnya terjadi proses diskusi alami dan transfer informasi yang berhasil didapat dari komunitas lain. Pengalaman empiris itulah yang didapatkan saya bersama band Forgotten. Awalnya, kita hanya ingin bersenang senang dengan musik yang kita bawakan. Awalnya, kita hanya ingin manggung bareng kawan-kawan setongkrongan di Ujungberung.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner