Sepotong Kliping dan Asa untuk Berlari Lebih Jauh

Sepotong Kliping dan Asa untuk Berlari Lebih Jauh

Di luar sektor musikal, mungkin Dom Lawson sudah terlanjur menikmati ke-“ekstrem”-an khas Indonesia yang lain. Seperti misalnya lalu lintas yang liar, geografis yang menantang, pesona gunung vulkanik, venue rahasia di Klub Racun, atau bahkan semangkuk sup dan darah ular yang dia santap bersama sohib metal-nya di Bandung, tempo hari.         

It’s pretty fucking metal!” seru si penggemar klub West Ham United tersebut dalam pojok ulasannya di Metal Hammer. Selalu saja ada hal baru dan menyenangkan setiap kali ke Indonesia, menurut pria yang sudah fasih mengucapkan “Anjing Edan!” dan “Jancok!” itu.

Dalam beberapa kesempatan, kami juga berbincang santai dengannya mengenai musisi yang pernah ditemui, konser yang sudah ditonton, hingga saling berbagi playlist dan rekomendasi lagu. Ya, standar obrolan metalhead kalau lagi nongkrong bareng. Tentu saja, in a metal way.

“Oya, saya suka ulasanmu di Metal Hammer yang edisi Slayer Forever,” pungkas saya kepada Dom Lawson saat kami ngopi bareng di Kantin Nasion The Panas Dalam sepulang dari Tangkuban Perahu. Dia lalu cerita sedikit soal pertemuannya dengan Tom Araya dan Kerry King pada konser terakhir mereka di London. Saat itu Dom Lawson juga baru menyelesaikan ulasan panjang soal reuni Machine Head yang sedang merayakan 25 tahun debut album Burn My Eyes untuk majalah Metal Hammer edisi Juli 2019.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by True Megabenz (@ebenbkhc) on

Melalui foto di ponselnya, Dom Lawson juga sempat memamerkan kepada saya soal buku yang baru dia tulis sebagai bagian dari boxset eksklusif edisi perayaan 40 tahun album In Nomine Satanas milik Venom. Mengerikan. Sembari menonton pertunjukan Karinding, kami lalu antusias berbincang seputar media dan jurnalisme rock.

“Saya senang bisa datang ke negeri kamu dan mengalami banyak hal yang seru di sini. And I’ll keep writing on it,” tutur pria yang mengaku tidak pernah menyesal menjalani hidup sebagai jurnalis musik. Baginya, itu memang pekerjaan terbaik agar bisa selalu berada di antara hal-hal yang paling dia cintai. Seperti menyambangi komunitas metal di belahan dunia yang lain, misalnya.

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast Fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktivitas di bawah institusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (1)

Comments (1)

  • Chabib
    Chabib
    14 Oct 2019
    Ulasan yang ciamik oket sam samack ??..
You must be logged in to comment.
Load More

spinner