Senandung Serempak: No More Guilty Pleasures
Di tahun 2019 ini, di khazanah musik anak negeri ada beberapa hal yang amat menarik perhatian saya. Di antaranya album brilian rilisan veteran hiphop Doyz x Morgue Vanguard Demi Masa; ajang penghargaan di skena relatif kecil tapi paling seru se-Nusantara, Anugerah Musik Bali, atau pesta musik elektronik paling megah nan meriah di Asia Tenggara, Djakarta Warehouse Project.
Ketiganya mampu memberi warna kuat pada dinamika musik di Indonesia pada warsa sekarang. Demi Masa mampu menunjukkan bahwa kita bisa berlidah tajam seraya bergembira—can’t stop the bum rush. AMB menjadi bukti wilayah tergolong mini macam Bali prestasinya bisa luar biasa maksi. Siapa sangka DWP kini telah bertransformasi menjadi raksasa di skala bahkan Australasia. Namun ada satu fenomena yang, bagi saya, paling menonjol di era pemakzulan Trump ini, pengaruhnya masif. Menimpa kaum kaya, tingkat tengah, sampai strata jelata; semua suka. Apa itu? Senandung serempak, koor dadakan, bernyanyi bersama mengikuti lirik dari perangkat pemutar lagu. Baik di klub, taman kota, atau lapangan sepakbola.
Fenomena ini sejatinya telah berlangsung sedari lama. Barangkali sudah sejak Rahmat Dwi Putranto mencipta nama Diskopantera di Twitter pada 2009. Ia, kalau bukan pionir, adalah satu dari super sedikit sosok penting yang mengawali tren ini. Ia rajin mengumandangkan tembang-tembang lawas Barat dan Indonesia 70, 80, dan 90an. Dari yang keren sampai yang katrok. Apa pun suguhannya, ya Metallica ya Reza Artamevia, garansi sing-along pasti terjadi.
Comments (0)