Selamat Datang di Era Baru: Apokaliptika

Selamat Datang di Era Baru: Apokaliptika

Keadaan ini berlangsung berkepanjangan di tahun 2015-2017. Proses kreatif terhambat dan menemui jalan buntu. Hampir tidak ada lagu baru yang benar-benar jadi. Perasaan bersalah sempat menghinggapi saya, karena keputusan pindah dari Solo sehingga intensitas saya di studio sangat berkurang. Tapi anehnya, hal ini hanya terjadi saat penggarapan materi di studio. Ketika di panggung, karena jadwal manggung juga cukup padat, suasana tegang tadi langsung mencair berubah kegembiraan. Akhirnya setelah berembug, jalan keluar diputuskan, yaitu saat menggarap lagu dari Rio di studio, Isa tidak boleh ikut latihan. Ini juga berlaku sebaliknya. Jadi, proses penggarapan materi dikerjakan terpisah, ada sesi Rio dan sesi Isa. Disepakati misal lagu dari Rio diselesaikan dulu, setelah itu baru Isa boleh berkontribusi. Kami juga merubah secara perlahan metode jamming menjadi home recording untuk menampung riff masing-masing sebelum dibawa ke studio.

Kendala juga bertambah, Jojo mulai susah mengatur waktunya fokus berkontribusi dalam penggarapan lagu baru. Kesibukannya mengelola bisnis keluarga membuatnya sering absen dalam proses penggarapan di studio. Dia hanya bisa ikut saat latihan persiapan manggung. Bisa dibayangkan studio saat Down For Life latihan hanya berisi dua personil, antara Latief dan Rio atau Isa. Dari solusi tidak lazim itu jadilah sebuah lagu berjudul "Dead Shall Rise". Lagu berdasarkan riff dari Rio dan dikerjakan bersama Latief dan Jojo, kemudian baru Isa memberi feel.

Awalnya tidak mudah, Rio berpikir bahwa ini otoritasnya, karena ini adalah lagunya. Tapi, seiring berjalannya waktu akhirnya kami bisa saling mengendalikan ego masing-masing dan menerima masukan dari personil yang lain. "Dead Shall Rise" menjadi lagu pertama yang kemudian menjadi seperti membuka kotak pandora yang membuat kami akhirnya menemukan formula untuk mengerjakan lagu-lagu berikutnya. Di sela-sela manggung, kami masih terus menyempatkan mengerjakan lagu-lagu baru. Kemudian, kami merekam riff  dan part tersebut di Crossroad Studio Solo dan Soba Studio di Yogyakarta. Tapi, materi-materi masih mentah, perlu dirangkai dan dimatangkan lagi.

Setelah 'Pesta Partai Barbar 2019', Isa harus absen sebulan dari manggung karena pekerjaannya bersama Endank Soekamti. Kami dibantu Sinom Jalu, pemilik Studio Crossroad, yang kebetulan juga baru keluar dari Soloensis. Saya dan Yossy Herman, sound engineer live Down For Life mengusulkan mencoba memakai tiga gitaris. Selain pertimbangan teknis untuk memberi nuansa baru di album baru nanti, harapannya juga untuk mengendalikan ego kedua gitaris yang sudah ada. Formasi ini sempat beberapa kali di coba di beberapa panggung, seperti di 'Final Show - W:O:A Metal Battle Indonesia 2019' di Bandung dan 'The Karnival Festival' di Solo. Tapi, sepertinya Down For Life belum memerlukan tiga gitaris untuk saat ini.

Pertengahan 2019, kami memutuskan untuk merekam dua lagu yang sudah matang dan siap direkam. Proses rekaman akan dikerjakan di Dark Tones Studio, milik Blackandje Records, record label yang menaungi kami. Kami berdiskusi utntuk menentukan waktu yang sesuai karena jadwal kesibukan masing-masing personil. Saat itu, Jojo menyampaikan bahwa tidak bisa berkontribusi dalam proses rekaman setelah sebelumnya juga tidak bisa ikut proses persiapan manggung dengan konsep paduan suara dan tari untuk 'Solo City Jazz'.

Stephanus Adjie

Stephanus Adjie. Dikutuk menjadi metalhead sejak 1990 sampai akhir menutup mata.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner