Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Satu)

Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Satu)

“The task of art today is to bring chaos into order.” (Theodor Adorno)

“Daripada pusing-pusing memikirkan genre yang bisa memicu perdebatan tak ada guna, mas. Kami yang dari Indonesia ini memainkan musik bernuansakan kegelapan. Soal genre, biar orang yang menilai, yang pasti kami tetap berkarya.”

Persisnya, itulah ujaran dari salah satu anggota band dengan saya melalui kotak percakapan di Facebook. Tambahnya, dari awal ia mendirikan band di tahun 2004 sampai kisaran 2016, tidak ada perdebatan soal genre dan kostum. Menurutnya, itu hal yang aneh. Awalnya, band ini mengusung genre black metal, dan lalu resmi berganti aliran menjadi “Indonesian dark Javanese”. Pernyataan tersebut terwakili melalui bagian belakang kaos band mereka yang menyematkan keterangan nama genre baru itu.

Bukan tak mungkin jika ada band lain di Indonesia yang awalnya mengusung black metal namun perlahan-lahan mengganti baju mereka dengan istilah serupa atau malahan yang lain. Alasan yang sama bisa saja dikemukakan, atau barangkali merasa minder karena kurang atau tidak dianggap black metal yang orisinal. Saya juga bertanya-tanya, sebegitu penting kah, substantif-kah, untuk persoalan mencari-cari, mendebat-debat, soal mana yang paling black metal, yang paling asli, paling “trve”?

Kegelisahan itu lah yang kemudian mengusik benak saya untuk mengandaikan jika black metal tidak pernah lahir di Norwegia, melainkan di sini. Harap singkirkan dulu segala konteks yang mengepung jika pengandaian itu saya terapkan, semisal harus ditempatkan di awal ‘90-an, sosial politik Indonesia di bawah rezim militer, dan sebagainya. Tidak. Semua hal itu bagi saya malah membatasi imajinasi sendiri. Kali ini, saya sedang berpikir dan berandai secara anakronis.

Sayang sekali, akan sangat susah membayangkan pengandaian tadi. Sebabnya, Indonesia terdiri dari rangkaian dan susunan teks tradisi, budaya, kepercayaan, dan segala carut marut di dalamnya. Itu pun akan sangat susah menjawabnya lagi dengan pengandaian sekaligus pertanyaan; Kalau black metal lahir di Indonesia, apakah namanya juga akan black metal?

Yang bakal tahu seperti apa wujudnya, ya orang yang punya kesadaran melihat diri sendiri, di mana ia tinggal serta bagaimana memaknai ke-Indonesian-nya. Mungkin masih agak abstrak, karena itu saya singgung saja soal skinhead/punk di sini.

Penanda paling mencolok dari subkultur tersebut salah satunya adalah sepatu boot. Konteksnya adalah kelahiran mereka dari kultur kelas pekerja di Inggris. Segala atribut fashion yang melekat itu kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bukan hal yang salah mengenakan sepatu Doc Martens di siang bolong sepanjang hari, namun juga agak repot pula jika harus melepasnya sesekali karena harus ke ruangan yang tak membolehkan alas kaki masuk. Bisa habis waktunya untuk melepas dan mengenakan lagi sepasang boot, apalagi yang lebih dari delapan lubang. Belum lagi, jika melengkapi diri dengan jaket jeans yang naturalnya tidak didesain untuk iklim tropis.

Saya tidak sedang menyindir atau mengejek siapa pun. Hanya sedikit mencoba gambaran yang semoga pas demi menjelaskan soal pemaknaan tadi. Lebih penting lagi, saya pun pernah atau masih jadi bagian dari hal itu. Seperti halnya pada saat saya merekam footage sosok beratribut black metal lengkap dengan corpse paint-nya dan mesti berjalan-jalan di tengah terik dan pengapnya cuaca kota. Tapi, semua itu, di sini, di negeri yang permai ini, malah semata dianggap keren. Yang penting tampil, eksis, dan sah berdasarkan wujud dan rupanya.

Yang hendak saya katakan di sini adalah semua ada alasannya. Kalau alasannya karena semata ingin nampak keren, lalu di mana jiwa rebel-nya? Semangat memberontak, menggugat dan melawan kemapanan berpikir, tanpa bermaksud meniadakan yang lain. Lagipula, masih sedikit yang kurang mengerti bahwa perjuangan dan jalan hidup anak punk bukanlah perkara mengenakan sepatu boot. Bahkan bagi saya, seandainya bukan musik punk atau black metal namun ternyata lebih mewakili gagasan idealisme, saya pasti akan masuk ke situ kok. No matter how...

Dalam black metal, salah satu alasan mengenakan corpse paint ialah supaya membuat orang-orang yang melihatnya merasa ngeri. Ngeri yang bagaimana? Toh, di sini yang terjadi adalah kesan berbeda, meski tidak semuanya begitu. Kalau corpse paint dianggap sebentuk ekspresi seni, toh banyak yg tampilnya tidak bagus.  Malah jadi lucu kesannya. Jika memperlakukannya sebagai cara berkesenian, harusnya perlu mengasahnya dari segi estetika. Yang sedikit menjengkelkan lagi, betapa hal itu justru disengaja, entah secara ironi atau parodi. Atribut black metal pun jadi bahan tertawaan.

Jadi, saya kembalikan lagi pada kutipan di pembuka tadi. Pengalaman sebuah band yang awalnya mengusung black metal namun sangat jauh berbeda dari aslinya, nun jauh di sana, dan bahkan para anggota band yang bersangkutan itu mungkin sebelumnya tak pernah tahu nama dan letak Norwegia, apalagi sejumlah band kanon yang menjadi perintis subgenre ini.

Namun, teman-teman dari band ini dan sejenisnya tetap tabah dan tegar dengan bendera black metal mereka. Menggunakan konsep semi teatrikal, seperti mengenakan kain kafan di atas panggung, membakar menyan, meminum darah binatang, dan sebagainya. Sebagian dari mereka juga saya masukkan dalam sesi wawancara di film “Where Do We Go”. Menempati satu bagian dari rantai narasi bersama band-band lain yang mengusung bendera yang sama, tapi sangat berbeda karena rata-rata menggunakan pakem black metal yang kita kenal pada umumnya. Justru, dari situ lah muncul semacam dialog antara yang global dan lokal. Antara penafsiran black metal yang satu dan yang lainnya. Masing-masing dengan segala identitas dan kekhasannya. Menghadirkan pertarungan antar simbol.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner