Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Dua)
Mengingat black metal identik dengan corpse paint, topeng, jangan-jangan memang digunakan sebagai selubung watak yang aslinya berkebalikan? Artinya, kalau seseorang kerap mengarahkan hujatan pada band-band berlabel tertentu, memangnya seberapa cocok juga dia membangga-banggakan dan menggunakan gaya black metal yang kebarat-baratan?
Makeup Corpse Paint - Foto: symmetal.com
Untungnya, black metal tidak lahir di Indonesia. Saya mengamini itu. Mengapa? Kita terkadang aneh. Orang-orang barat, gaya musik dan fashion-nya kita tiru habis-habisan. Giliran kita yang memainkan yang sama dengan penafsiran lokal, kita malah ditertawakan. Pertanyaannya: apakah memang harus sama persis sampai ke detil-detilnya dan di saat bersamaan menafikan keberagaman yang telah lama mengendap dan menyatu di sekitar kita?
Sebaliknya, beda dengan musik yang konon asli dari kita, yang etnik, serba eksotik di mata barat. Orang-orang barat memainkannya dengan penafsiran serta artikulasi yang tentu beda, kita malah bersorak bangga. “Tuh, lihat, orang-orang itu memainkan musik dari budaya kita, kudunya lu bangga, dong!”
Apa kita selamanya tak ingin sembuh dari gejala inferior kompleks, yang lebih gampang menyukai apapun dari luar? Menelannya mentah-mentah, berupaya meniru sepersis mungkin. Namun, jauh di dalam diri kita yang paling kelam, kita meratapi diri sebagai inlander?
Atau, malah mau berpuas diri dan berhenti di sini. Tak perlu menanyakan lagi ke mana kita beranjak? Where do we go? Terjebak dalam fase estetik yang menunggu kematian? Fase estetik sebagaimana kematian adalah pengalaman tak terelakkan. Itulah saat ketiadaan. Saat ketika terjadi kegagalan estetis untuk menjadikan diri seseorang sebagaimana dicita-citakan, yakni menjadi dirinya. Kegagalan untuk menemukan yang permanen di dalam dirinya maupun di luar dirinya yang mengantarkan pada kehancuran. Lalu di mana yang tersisa akan tinggal? Semoga bisa terjawab atau paling tidak memberikan peluang akan adanya jawaban tersebut melalui film dokumenter saya yang kedua nanti, “Where We Live In”.
Comments (1)