Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Dua)

Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Dua)

Bagaimana dengan Black Metal?

Entah kamu suka atau tidak dengan subgenre ini, gaungnya kian terdengar ke seantero jagad. Banyak fans yang penasaran dan ingin berkunjung langsung ke negara asalnya, Norwegia. Berbekal harapan bahwa mereka bakal menjumpai dan mengalami sendiri segala atmosfir yang sudah mereka nikmati melalui rekaman fisik, digital, sampai live performance sejumlah band.

Sebuah film dokumenter berjudul “Blackhearts” memaparkannya dari ulasan di tautan ini (Black metal fans went to Norway to face evil. They were disappointed). Tiga fans black metal dari Iran, Yunani, dan Kolombia melakukan perjalanan ziarah black metal. Semuanya berfantasi tentang Norwegia dan mengimajinasikannya berdasarkan referensi musik masing-masing. Sampai-sampai, ada istilah “Blackpapers” yang merujuk kepada para turis asing yang berkunjung ke Norwegia dengan misi menjumpai pengalaman black metal di tanah kelahirannya itu.


Poster film "Blackhearts" - Foto: Drunk in a Graveyard

Tapi apa yang mereka jumpai? Mereka bertemu dengan beberapa anggota band yang bekerja sebagai guru hingga buruh di penggergajian kayu. Rilisan-rilisan rekaman fisik band-band black metal di sana pun sebagian ada yang disponsori oleh pemerintah, sebagian yang lain bahkan berpartisipasi dalam kontes musik Eropa, dan sebuah festival black metal pun dibuka secara resmi oleh walikota setempat.

Hari ini, kita tak menemukan banyak versi radikal dari gaya hidup yang berhubungan dengan satanisme atau apapun itu. Kebanyakan, band black metal di Norwegia sekarang ini hanya ingin menciptakan musik dan berharap bisa hidup dari situ, demikian penjelasan sang sutradara, Fredrik Horn Akselsen.

Di sini, di negeri kita yang permai ini, wajah black metal terkesan lebih puritan dari asalnya, memandang black metal sebagai sesuatu yang sudah dan harus begitu dari sononya. Segala simbol, pemaknaan, dan nilai yang dianggap bawaan dari black metal seolah dipaksakan dan mesti ditaati. Dengan kata lain, menciptakan semacam tekanan-tekanan yang sangat susah sekali mengambil pilihan pribadi. Bukan lagi menjadi yang bebas justru karena adanya sifat universalitas black metal yang dipaksakan.

Dampak dari universalitas ini adalah menempatkan individu pada satu bentuk, di mana bentuk itu mengacu pada sesuatu yang sudah menjadi kodrati. Harus mengenakan make up, corpse paint, serba hitam, gelap, sangar, kematian. Semua itu ibarat susunan teks atau kode yang terkesan acak namun membentuk wacana perihal black metal itu sendiri.

Baiknya, wacana itu mesti diposisikan sebagai sesuatu yang musti ditelusuri asal muasal mengapa ia hadir, tak bisa begitu saja menerima dan sebaliknya mesti resisten. Karena, wacana di sini adalah sebentuk tata tertib dan definisi yang secara otomatis sanggup mendisiplinkan setiap pelakunya, mewajibkan semua orang patuh pada maksud wacana itu.

Sementara itu, absurditas dan teror kian berlangsung di negeri ini. Tak perlu dijelaskan lagi lah, bagaimana kita merasa muak pada kegilaan massa yang ditularkan melalui media-media arus utama dari topik sosial, politik, budaya, sampai agama. Bagi saya, justru bisa dimanfaatkan sebagai momen untuk musik-musik bawah tanah sebagai “juru selamat”. Tidak semata untuk ajang eskapis dan bukan pula tendensi heroik. Sederhana saja, pilihan menjadi metalhead atau punk dewasa ini jangan-jangan adalah siasat praktis untuk tetap menjaga kewarasan.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (1)

Comments (1)

  • ediwinanto
    ediwinanto
    26 Mar 2018
    Pengen nonton mas yang pertama
You must be logged in to comment.
Load More

spinner