RUU Permusikan, yang Dilarang Justru Makin Laku

RUU Permusikan, yang Dilarang Justru Makin Laku

Kita tarik mundur lagi ingatan kita ke tahun 1994 di mana geliat musik independen untuk pertama kalinya hadir dan memberikan warna di industri musik Indonesia. Ranah musik independen hadir di saat negeri ini dipimpin oleh sebuah rezim yang otoriter dan totaliter, melalui perpanjangan tangan aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan tentara maupun badan-badan yang sengaja dibuat untuk melindungi penguasa dari segala macam bentuk kritik seperti Bakorstanas (Badan Koordinasi Kestabilan dan Pertahanan Nasional) dan menegakan supremasi hukum yang mengacu pada pasal-pasal “Haatzai Artikelen”. Rangkuman pasal-pasal karet produk kolonialisme yang sengaja dibuat untuk melindungi kepentingan penguasa dan tetap dipertahankan oleh pemerintah kita.

"Dalam sebuah teori konstruksi sosial dan budaya, bangsa ini sedang masuk dalam fase transisi identitas."

Di tengah represi yang berlangsung, nyali musisi benar-benar diuji ke batas antara hidup dan mati. Sadar dengan resiko setiap lirik, musik dan sampul album yang diproduksi benar-benar menjadi representasi dari kegelisahan dan kemarahan yang terjadi saat itu. Sama sekali bukan gimmick ataupun produk memancing kontroversi untuk mengejar popularitas dan mengejar predikat "sell out".  Musisi benar-benar terseleksi menurut tingkat kewarasan mereka dalam membaca situasi dan merasakan kondisi. Yang benar-benar menjilat pantat penguasa dan memilih bermain "aman" dan bersembunyi di balik ketiak kekuasaan atau memilih berseberangan dengan berkarya secara bergerilya, menghindari deteksi radar para intel yang masuk ke dalam segala sendi kehidupan di masyarakat. Dianalogikan dengan "setiap tembok dan atap saat itu punya mata dan telinga yang mampu mendengar dan melihat setiap gerak-gerik kita". Begitupun dengan nasib penikmatnya. Oleh karena itu, begitu karya mereka sampai ke pendengar, ada rasa yang berbeda ketika kita dengarkan. Keberanian dan kejujuran seolah hadir dalam setiap nada dan lirik yang kita dengarkan. Seolah menemukan empati dan simpati dan sebuah persoalan tentang siapa yang harus dilawan.

Tentu, kita semua tidak mau masuk dalam situasi tersebut. Situasi ketika orang hanya baca puisi saja bisa hilang tanpa jejak, orang bisa masuk penjara gara-gara memainkan musik yang tidak sesuai dengan selera penguasa, setiap manggung diteror dan diancam dibunuh oleh ormas keagamaan radikal dikarenakan lagunya dianggap menistakan agama dan merusak moral bangsa, jadi buronan polisi dikarenakan mengorganisir panggung pertunjukan ketika menggelar perayaan May Day karena dianggap memprovokasi buruh untuk membuat kerusuhan atau bahkan ketika akan manggung pihak polisi menjadi show director yang berhak menentukan lagu mana yang boleh dimainkan di atas panggung yang dianggap sesuai dengan standar nilai moral mereka. Walaupun, sebenarnya tanpa hadirnya UU permusikan kasus kriminalisasi, sensor dan eksploitasi terhadap karya musik kerap dialami musisi di negeri ini dan masih berlanjut hingga kini.

Dalam sebuah teori konstruksi sosial dan budaya, bangsa ini sedang masuk dalam fase transisi identitas. Antara memilih menjadi masyarakat yang moderat, liberal dan menjadi bagian dari masyarakat kapitalis global dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor salah satunya musik sebagai bagian dari produk budaya, namun ada sisi paradoks yang ingin tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang feodal sebagai bagian dari warisan budaya kolonialisme yang seolah menjadi identitas atau penanda sebuah bangsa. Ketika negara menganggap musik sebagai sebuah komoditas kapital yang layak dijual, tentu perlu ada standar produk yang sesuai untuk bisa dikonsumsi pasar. Seperti itulah mungkin kesimpulannya. Lalu sikap saya selaku musisi akan seperti apa? Jawaban saya akan meniru potongan lagu Ice-T yang berjudul "Freedom of Speech":

 "Hey, PMRC, you stupid fuckin' assholes,
The sticker on the record is what makes 'em sell gold,
Can't you see, you alcoholic idiots,
The more you try to suppress us, the larger we get."

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner