RUU Permusikan, yang Dilarang Justru Makin Laku

RUU Permusikan, yang Dilarang Justru Makin Laku

Sebelum undang-undang ini disahkan oleh parlemen, beberapa saksi dari musisi dan akademisi musik dihadirkan oleh kongres untuk didengar kesaksiannya. Pada bulan September 1985, Dee Snider vokalis band rock Twisted Sister, Frank Zappa musisi rock eksperimental dan John Denver musisi folk hadir di gedung parlemen untuk memenuhi panggilan kongres. Masing-masing memberikan argumen mereka terkait rancangan undang-undang permusikan di Amerika. Sementara, dinamika di luar gedung parlemen lebih meriah lagi. Pro dan kontra merebak, baik dari kalangan sipil maupun dari musisi. Mengesampingkan segala dinamika dan gejolak yang terjadi di masyarakat, akhirnya pihak kongres menyetujui UU terkait pengaturan industri musik di Amerika untuk disahkan.

Hal ini justru membuat dinamika industri musik di Amerika semakin menggeliat. Para musisi dalam hal ini musisi rock dan heavy metal seolah menemukan "musuh bersama" yang baru. Pasca revolusi musik di Amerika di era 1960-1970 yang dipicu oleh keterlibatan Amerika di perang Vietnam yang menghasilkan depresi ekonomi domestik, para musisi berhasil menemukan banyak hal fundamental bagi perkembangan musik dunia hingga saat ini. Amerika seolah kehilangan momentum untuk kembali ke masa tersebut. Protes dan aksi solidaritas antar musisi berbagai genre merebak di mana-mana. Dari mulai panggung festival hingga lirik-lirik yang dihasilkan. Frank Zappa melakukan sindiran dengan merilis sebuah album instrumental berjudul Jazz Fom Hell dan dengan sengaja menempelkan stiker peringatan di sampul albumnya. Zappa beranggapan kata “hell” dan salah satu lagunya yang berjudul “G-spot Tornado” bisa merusak moral anak muda Amerika bahkan hanya melalui sebuah komposisi musik tanpa lirik.

Terhitung semenjak UU itu disahkan hingga hari ini, musisi Amerika tidak pernah kehilangan nyali untuk terus berkarya dan menyuarakan apa yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai seorang seniman. Stiker peringatan yang bertujuan untuk menyensor karya musisi justru berbalik menjadi gimmick marketing yang jitu. Para artis atau band yang album rekamannya ditempel label “parental advisory, explicit content/lyrics” berbalik menjadi merasa keren. Akhirnya, para musisi Amerika menemukan kembali momen pembangkangan sipil dengan cara yang terbilang estetik.   

Apa yang terjadi di Amerika tentu berbeda kasusnya dengan yang terjadi di sini. Walaupun, secara esensi mempunyai persamaan. Lalu, bagaimana dengan rencana DPR kita yang sedang membahas RUU Permusikan yang menurut para musisi justru akan hadir menjadi undang-undang yang mengekang kekebasan berekspresi dengan pasal-pasal karetnya? Dalam pandangan musisi kita, ada sekitar 19 pasal yang berpotensi bisa mengekang kebebasan berekspresi dan berdampak pada banyak sektor kreativitas, salah satunya ekonomi kreatif. Seniman atau musisi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial tentu mempunyai hak atas politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dan sudah seharusnya setiap bentuk undang-undang yang disusun dan disahkan harus bisa memperkuat hak tersebut.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner