Rukun Nge-band: Metode Sama, Hasil Beragam

Rukun Nge-band: Metode Sama, Hasil Beragam

Sumber foto : Diambil dari akun instagram @korongmentah (foto merupakan karya dari Ibrahim Partogi)

Apa pun tujuanmu untuk nge-band, tetaplah istiqomah. Siapa tahu takdir berbaik hati untuk membukakan matamu akan kesahihan tujuanmu di kegiatan nge-band

Kegiatan nongkrong di Bandung adalah semacam ritus yang krusial sekaligus signifikan untuk keberlangsungan sebuah lingkup perkawanan. Bagaimana tidak? Tabiat warga Bandung dari zaman dulu yang sudah guyub dan nangkring mania kadangkala menghasilkan banyak ide, konsep atau aktivasi yang kelak menjadi penting di dalam sejarah kota Kembang pada tahun-tahun berikutnya.

Apabila konteks musik yang dikaitkan dengan kegiatan nongkrong, banyak pembahasan yang muncul dari dalam ceruk komunikasi kasual berkelas lentur tersebut. Sebut saja banyak inisiasi pembuatan sebuah grup musik, ideasi konsep musik, pencanangan sebuah acara musik yang awal mulanya dicetuskan di dalam sebuah kegiatan yang bernama nongkrong.

Nah beberapa waktu lalu, saya pun mendapatkan sebuah konsep bertopik musik yang menarik dari obrolan kala nongkrong bersama beberapa kawan. Sebetulnya konsep yang ia lontarkan kalau dipikirkan secara waras dan mawas, lumayan berbilah dua. Karena di satu sisi memang masuk akal dan super relevan, tapi kalau ditelaah dari sudut pandang yang lebih kontemporer, sepertinya lumayan terdengar banal.

Begini, salah satu kawan saya tiba-tiba berceloteh tentang keresahannya akan band-band barudak di Bandung yang ‘teu kamamana’ tapi kalau dibilang aktif berkiprah, memang termasuk aktif. Kiprah yang dia maksud adalah aktivitas kaidah nge-band yang memang umumnya (atau sudah seharusnya) dilakukan oleh sebuah band, macam menulis lagu sendiri, merekamnya, dirilis, membuat langkah promosi macam tur atau showcase dan mengulang pola tersebut.

Mendengar celotehannya tersebut dan merunut ke poinnya yang menyebutkan akan sebuah pola yang terjadi, nalar bodoh saya pun seakan mengikatnya ke narasi pemahaman akan sebuah rukun. Kata ‘rukun’ sendiri di Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna: 1. Yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan 2. Asas; dasar; sendi.

Dengan landasan pemahaman seruntulan tersebut, saya rasa sah-sah saja apa yang dicelotehkan oleh kawan saya itu disebut sebagai Rukun Nge-band. Toh memang kenyataannya seperti itu ‘kan? Ketika sebuah band dibentuk, tentu mereka langsung akan memikirkan bagaimana caranya untuk bisa bermain di sebuah panggung yang skalanya beragam (alias menyesuaikan etos band-nya sendiri). Tentu mereka pun ingin mendapatkan sedikit percikan eksposur dan popularitas, maka mereka pun akhirnya akan mempromosikan karya yang sudah mereka tulis, rekam dan garap dengan cara apa pun. Yang paling lumrah hari ini mungkin dengan interaksi sosial media plus kelengkapan aspek visual dan tone bahasa yang diharapkan bisa relatable dengan para penggemar musik sasaran mereka. Gila. Konseptual betul ternyata sebetulnya Rukun Nge-Band ini!

Sebentar coba kita ejawantahkan dulu Rukun Nge-Band agar tak terlalu rumit untuk dipahami:

1. Membentuk band

2. Menentukan tujuan band

3. Menulis lagu sendiri (atau cover boleh selama izinnya aman)

4. Merekam lagu/rilisan

5. Merilis karya (EP, single, album)

6. Promosi karya (sebar berita, showcase, tur)

7. Ulangi dari poin ke-tiga

Kalau dilihat dari poin-poinnya, sebetulnya Rukun Nge-Band itu bisa diimplementasikan oleh semua kalangan dan demografi band di Indonesia. Dari berbagai tujuan. Mau yang DIY-to-the-core sampai yang ingin melangkah ke gelembung industri arus utama. Nah ini menarik, mari kembali lagi ke keluhan kawan saya yag tadi sempat dibahas di awal tulisan.

Dia sempat menyebutkan bahwa banyak band barudak yang sudah menjalankan Rukun Nge-Band dengan konsisten dan jor-joran, tapi band-nya masih begitu-begitu saja. Masih bermain di lingkup yang sama. Masih tidak merasakan perkembangan. Entah apa yang ia maksud dengan ‘perkembangan’ itu – apa dari segi reputasi atau finansial alias band-nya memang ada harapan ingin bisa dibayar setiap kali mendapatkan panggung.

Tapi saya rasa, meski Rukun Nge-Band ini memang suatu kaidah yang sudah sepatutnya dilakukan oleh semua band dari berbagai latar belakang tujuan, ada satu hal yang mereka tak bisa kendalikan meski sudah konsisten menjalankannya: takdir. Oke, mungkin itu anti-klimaks dan penulisan yang super malas. Tapi akuilah, tak ada yang bisa mengatur takdir. Semuanya sudah tersirat dan diatur sedemikian rupa – termasuk jalur nge-band. Kalau memang band-nya sudah ditakdirkan hadir di waktu dan tren musik yang tepat, maka dia akan mendapatkan keuntungan lebih setelah menjalankan Rukun Nge-Band. Ada juga band yang sudah bertahun-tahun menjalankan Rukun Nge-Band dan masih berada di level cult. Toh tidak apa-apa juga. Mungkin menjadi cult memang takdir band tersebut ;dihiraukan oleh populis, tapi menjadi pahlawan bagi rakyat niche.

Tak semua band bisa menjadi ‘besar’ dan ‘sukses’. Sama halnya, tak semua band pun akan tetap stagnan di jalurnya masing-masing. Bisa saja ada faktor X yang membawa sebuah band ke level selanjutnya di tengah-tengah perjalanan mereka. Namun Rukun Nge-Band memang sebuah konsep yang bisa dijadikan landasan untuk semua band sebagai sebuah langkah dasar musical group effort.

Bagi saya pribadi, ketika ada sebuah pembahasan akan kesia-siaan dari usaha di lingkup nge-band macam yang diutarakan oleh kawan saya, berarti ada satu hal yang harus ditinjau ulang dari kegiatan nge-band-nya. Mungkin saya rasa yang paling masuk akal untuk hal itu adalah menurunkan ekspektasi akan tujuan nge-band. Pasti setiap band baru punya ambisi untuk menjadi sebesar mungkin dan menjajal panggung-panggung mewah, tapi tak ada salahnya juga untuk bersabar dan menikmati fase usahanya masing-masing.

Namun kalau memang ada ambisi yang lebih besar, maka jangan patah semangat. Push your limit. Try harder. Be smart. Ah tapi konyol juga kalau saya yang bilang seperti itu. Toh band saya juga masih begitu-begitu saja. Hehe. Intinya, apa pun tujuanmu untuk nge-band, tetaplah istiqomah. Siapa tahu takdir berbaik hati untuk membukakan matamu akan kesahihan tujuanmu di kegiatan nge-band. Dan untuk mengobati hatimu yang merasa terdzolimi meski sudah menjalankan Rukun Nge-Band tapi hasilnya masih di level yang sama: it’s okay to be cult. It’s okay to be your favorite band’s favorite band.

BACA JUGA - 12 Lagu yang Terinspirasi dari Gulat

Prabu Pramayougha

Prabu Pramayougha adalah seorang musisi dan penulis musik. Dia seringkali ditemukan berbicara dan memainkan gitar secara sembrono di atas panggung bersama unit punk rock Saturday Night Karaoke. Dia pun baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul Don’t Read This! : Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa di tahun 2022.

 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner