Pengaruh JRPG dalam Musik The Panturas

Pengaruh JRPG dalam Musik The Panturas

Selanjutnya ada Breath of Fire IV. Jika gim-gim JRPG zaman itu banyak mengambil latar versi fantasi abad pertengahan Eropa dari kacamata Jepang (yang kadang kelewat berlebihan), Breath of Fire IV lebih mengeksplorasi sisi geografis yang lebih “oriental” –berbau Timur dari kacamata Barat. Gim ini juga menyuguhkan nuansa Tiongkok, Arab, hingga India, area-area yang dilewati Jalur Sutra ditambah daerah Bulan Sabit Subur. Ini direpresentasikan melalui aspek visual, karakter, dan tentunya musik latar.

Biarpun Ryu, Nina, dan kawan-kawan banyak melewati daerah padang pasir, musik yang digunakan tidak se-Timur Tengah Azure Dreams. Yang menjadi perhatian dalam scoring Breath of Fire IV adalah musik berbau India, perpaduan antara tabla, sitar, ditambah bebunyian mirip gamelan. Komposisi Yoshino Aoki yang juga mengerjakan scoring untuk beberapa judul serial Mega Man dan berpartisipasi dalam Final Fantasy XV sangat memikat di sini. Hal tersebut menjadi jembatan saya saat mengeksplorasi band-band raga rock psikadelik barat titisan Ravi Shankar, guru sitar George Harrison.

Breath of Fire IV merupakan gim yang penuh dengan teka-teki, namun teka-teki di sana tidak membuat saya mentok dan berhenti bermain. Serial Wild Arms lah yang bisa membuat saya berhenti bermain sejenak dan mencoba peruntungan lagi beberapa bulan ke depan (beberapa karena kebingungan masalah terjemahan). Serial ini juga lah yang membuka jalan saya memainkan JRPG.

Sebelum memiliki konsol PS1 sendiri, saya hanya kenal Winning Eleven dan beberapa gim fighting. Sepak bola tidak terlalu menarik perhatian karena orang-orang yang saya kenal selalu lebih baik dari saya. Karena itu, fighting selalu jadi pilihan saat numpang main PS di rumah teman atau saudara. Kebanyakan gim fighting, seperti Street Fighter, Bloody Roar, dan Psychic Force punya visual macam anime, begitu pun dengan Wild Arms. Jadi, saya pikir gim ini merupakan gim fighting dan memutuskan menjadikan Wild Arms sebagai kaset PS pertama yang saya beli.

Kebiasaan saya setelah membeli gim baru adalah menonton intronya sampai habis. Wild Arms sendiri membuat saya terkesan dengan musik intronya yang punya nuansa koboi, dipenuhi petikan gitar akustik dan siulan. Intro ini juga menjadi lagu latar gim pertama yang saya kulik dengan gitar, walaupun sekarang saya sudah lupa cara memainkannya. Namun, setelah intro beres dan memainkan gimnya, saya merasa bosan. Saudara saya yang ikut bermain bahkan berkata, “Mana nih ributnya?” Bagian pertarungan hanya diisi dengan pemilihan aksi dan waktu tunggu musuh menyerang. Saya baru menemukan keseruannya setelah berbulan-bulan kemudian, setelah gim lain yang saya punya sudah habis dimainkan dan tidak ada pilihan lain lagi selain memainkan Wild Arms.

Seperti Breath of Fire IV, hal yang unik dari Wild Arms adalah latarnya. Gim ini mengambil latar dunia koboi wild west. Karena itu, musik yang digunakan pun sejalan. Bahkan, saya baru tahu akhir-akhir ini kalau lagu latar world map Wild Arms mengambil nada dari “The Ecstasy of Gold” milik Ennio Morricone yang merupakan pengiring The Good, the Bad and the Ugly, film spaghetti western yang diperankan Clint Eastwod.

Wild Arms merupakan serial di mana saya memainkan lebih dari satu gim di dalamnya, selain Breath of Fire, serial Tales, dan Final Fantasy tentunya. Namun bagi saya, Wild Arms lah yang menjadi JRPG dengan musik terbaik. Karena itu, saya lanjut memainkan Wild Arms 2.

Abyan Nabilio

Abyan Nabilio adalah pengangguran paruh waktu yang sering bingung menjelaskan dirinya sendiri, tapi yang jelas sekarang ia merupakan pentolan boneka (karena yang asli adalah Kuya) dari klub rok selancar kontemporer, The Panturas.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner