Pengaruh JRPG dalam Musik The Panturas

Pengaruh JRPG dalam Musik The Panturas

Seperti dalam film, musik bukan lah sajian utama dalam gim. Namun, ternyata banyak dari musik pengiring mereka yang layak dapat perhatian

Saat diminta DCDC untuk menulis soal musik, jujur saya bingung. Tadinya terlintas di kepala untuk membahas pengaruh kurangnya kritik musik masa kini dan pengaruhnya terhadap karya musisi bahkan kancah lokal mereka. Namun, itu terdengar terlalu serius untuk orang secengengesan saya bukan? Akhirnya, saya memilih untuk menulis hal yang lebih personal dan menggunakan lagi kata ganti orang pertama setelah sekian lama. Jadi, biarpun judulnya terlihat begitu kuantitatif, jangan terlalu khawatir, ini adalah tulisan yang sangat dangkal dan tidak kaya data. Terima kasih kepada Prabu Pramayougha (calon narasumber mantan tema tulisan sebelumnya) yang tanpa sadar sudah membulatkan tekad saya untuk menulis ini. Mari kita bicara soal game (selanjutnya ditulis gim).

Saya tumbuh pada masa 2000-an dan role playing game (RPG), khususnya yang berasal dari Jepang (JRPG), merupakan bagian besar dalam kehidupan anak SD zaman itu. Entah saya pemain akut atau bukan tapi setidaknya saya telah mencicipi 11 (lebih dari 15 jika judul sampingan dihitung) judul Final Fantasy biarpun hanya lima yang tamat dan entah jadi apa saya jika tidak memainkan gim-gim tersebut.

Mereka punya pengaruh besar dalam hidup saya. Pertama, Bahasa Inggris, alasan klise tiap anak untuk minta izin main gim. Biarpun terjemahan Bahasa Inggris dari Bahasa Jepang gim zaman itu katanya kacau, tapi mereka lah yang membantu saya memahami banyak kosakata dan logika Bahasa Inggris, walaupun sampai sekarang nilai TOEFL saya standar. Lalu, JRPG juga mengajarkan saya tentang kehidupan, bahwa kehidupan tidak melulu hitam dan putih. Beberapa judul seperti Tales of Phantasia dan Wild Arms 2 punya antagonis dengan motif yang masuk akal dan membuat saya berpikir bahwa Thanos itu overrated. Selain itu, mereka juga sangat berpengaruh kepada karier utama saya saat ini, musik.

The Panturas, band saya, banyak memanfaatkan nada-nada yang bisa dibilang ‘eksotis’, mengarah pada akar musik selancarnya, di mana Dick Dale juga punya ketertarikan terhadap musik Arab sebagai keturunan Libanon. Kebetulan beberapa dasar materi band ini, saya yang bawa ke studio untuk dijadikan bahan yang lebih matang. Jadi, seharusnya pengaruh musik saya berpengaruh ke musik The Panturas juga dan kalimat ini ada untuk sekadar memberikan relevansi antara judul dan isi.

Jauh sebelum saya mengenal Dick Dale, telinga saya sudah terbiasa dengan nada-nada serupa karena sering bermain gim. “Logat” eksotis itu sudah bisa saya senandungkan biarpun tidak tahu “bahasa” apa yang dimainkan dan membuat saya sadar ternyata tidak semua musik beres hanya dengan nada-nada diatonis, terima kasih kepada konsol PS1 warisan sepupu dan katalog kaset PS Borma Setiabudhi, Bandung.

Azure Dreams merupakan yang terlintas di kepala saat menghubungkan istilah eksotis dan JRPG. Gim tersebut berlatar di sebuah kota padang pasir bernama Monsbaiya, tempat di mana menara penuh harta karun dan monster bersemayam. Cerita berkutat pada kehidupan seorang remaja berambut merah ikal berkulit coklat bernama Koh (cukup eksotis, bukan?) dalam menjalani kehidupannya sebagai penjinak monster untuk menaklukan lantai teratas menara. Gameplay-nya bisa diibaratkan Harvest Moon dikurangi bertani dan beternak ditambah unsur dungeon crawl, tidak seperti JRPG tradisional yang kebanyakan berpetualang mengelilingi dunia memang.

Latar padang pasir membuat musik latar gim ini bernuansa Timur Tengah. Biarpun pilihan nadanya masih dominan terdengar seperti nada-nada diatonis bercampur nuansa medieval yang biasa ditemui di JRPG kebanyakan, Azure Dreams banyak menyisipkan “nada-nada yang seharusnya tidak di sana”. Nuansa yang diciptakan sisipan tadi mungkin terdengar seperti harmonic minor atau phrygian atau apa lah itu namanya, pilihan nada yang paling sering saya gunakan di lagu-lagu The Panturas, biarpun saya tidak tahu persis apakah Hiroshi Tamawari, sang komponis, menggunakan itu atau tidak. Jadi, bisa dikatakan Azure Dreams lah yang bisa disalahkan atas obsesi saya terhadap nada-nada berbau Timur Tengah beberapa tahun ke belakang.

Abyan Nabilio

Abyan Nabilio adalah pengangguran paruh waktu yang sering bingung menjelaskan dirinya sendiri, tapi yang jelas sekarang ia merupakan pentolan boneka (karena yang asli adalah Kuya) dari klub rok selancar kontemporer, The Panturas.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner