Nostalgia Bukanlah Proyeksi (Personal) Buku Don’t Read This

Nostalgia Bukanlah Proyeksi (Personal) Buku Don’t Read This

Apabila buku saya memang akan memacu kembali gelora untuk kembali aktif dari para pegiat dan penggemarnya, tentu itu bukanlah sesuatu yang bisa saya kontrol dan kutuk seterusnya

Lagi-lagi saya harus memulai tulisan ini dengan sebuah disclaimer. Mungkin terkesan problematis tapi kalau tidak diutarakan malah jadi eneg sendiri dan berujung menjadi overthinking yang tak ada juntrungannya. Ah, mungkin itu juga menjadi sebuah fakta baru tentang saya bagi kamu yang belum mengetahui. Saya kerap kali memikirkan sebuah hal dengan berbagai cabang posibilitas dan konsekuensinya. Ya itu tadi, istilah zaman sekarangnya seringkali diklasifikasikan sebagai overthinking.

Oke, cukup curhat colongannya. Lantas apa kaitannya buku perdana saya yang baru terbit kemarin dengan overthinking?

Begini, dari halaman kata pengantar pun saya sudah memaparkan bahwa nostalgia sudah jelas bukan arah yang saya ingin tuju melalui buku Don’t Read This. Saya hanya ingin sekedar mencatat sebuah ‘kancah’ musik yang memberikan sumbangsih super signifikan terhadap pembentukan identitas saya sampai hari ini dan juga menjadikannya sebuah love letter bagi band-band yang musiknya turut hadir dalam berbagai kondisi hidup saya. Sebatas itu saja.

Namun ternyata ada beberapa kali ketika saya dihadapkan dengan beberapa pernyataan dari penggiat mau pun pelaku ‘melodic’ punk yang menganggap buku saya bisa dijadikan sebuah trigger kemunculan kembali beberapa band atau ‘pergerakan’ dari musik tersebut pada masa kini, karena mereka anggap buku saya akan sukses memantik kembali n.o.s.t.a.l.g.i.a soal ‘era keemasan’ melodic punk di Bandung. Uh, itu membuat saya risih sampai berhari-hari.

Bukankah sebuah unit band (dari genre se-niche apa pun) akan bisa terus eksis apabila dikelola dengan baik secara promosi dan juga karyanya? Kenapa harus menunggangi momentum tertentu untuk memulai relevan kembali? Nostalgia? Crowd yang sama dari tahun ke tahun? Bukankah akan lebih menarik ketika sebuah band atau pergerakan tetap dinamis seiring perpindahan era?

Karena konteks buku saya ‘melodic’ punk, mari ambil contoh band macam NOFX, Bad Religion atau bahkan Propagandhi. Mereka tetap bisa eksis dan menetaskan karya-karya fantastis dari masa ke masa. Tak perlu ada pelatuk berupa sebuah karya literatur yang harus mewakili kiprah mereka selama berkecimpung di kancah musik tersebut.

Ah, atau lihat band-band mid-tier di kancah tersebut kalau tiga contoh band tersebut tidak apple-to-apple secara positioning. Lihat band-band macam The Queers dari Amerika Serikat, Captain Hedge Hog dari Jepang atau bahkan yang semi-obscure macam Not On Tour dari Israel. Mereka anteng-anteng saja memainkan musik ‘melodic’ punk dan tetap melaju dengan istiqomah – tanpa pernah memikirkan cara untuk ‘come back’ walau tren musik tersebut tidak terlalu diminati oleh pangsa aktif utamanya sendiri.

Maka dari itu, saya pun sebetulnya meyakini bahwa ‘melodic’ punk mungkin memang masanya sudah lewat. Atau mungkin memang rotasi siklus minatnya belum kembali ke titik puncak klasemen keniscayaan zaman akan musiknya. Apabila buku saya memang akan memacu kembali gelora untuk kembali aktif dari para pegiat dan penggemarnya, tentu itu bukanlah sesuatu yang bisa saya kontrol dan kutuk seterusnya. Pilihan atau proses itu mungkin akan terjadi seiring waktu berjalan dan relevansinya dengan manusia hari ini.

Namun dalam konteks menunggangi sebuah karya untuk merelevansikan (baca: riding the wave) sebuah karya yang angin-anginan atau kualitasnya dipertanyakan (dari faktor eksistensi dan siginifikansi), saya hanya bisa mengelus dada dan berharap bahwa band-band lainnya tidak akan mengambil langkah seperti itu. Selain konsistensi perihal bermusiknya yang dipertanyakan, integritas mereka terhadap lajur musik yang dipilih pun biasanya menjadi tanda tanya yang cenderung berubah menjadi tanda seru berkonotasi negatif – setidaknya bagi saya pribadi yang dungu dan sok tahu soal musik ini.

Ah kurang lebih itulah satu dari sekian banyak serpihan overthinking yang kerap kali mengganggu jam tidur saya selama ini, paska penerbitan buku Don’t Read This. Saya baru mengetahui bahwa ada beban moral macam ini di ranah literasi. Sesuatu yang awalnya saya kira hanya akan menjadi bacaan informasi dan acuan referensi semata ternyata bisa digunakan lebih dari fitrahnya sebagai sumber pengetahuan tekstual. Kembali lagi, ini hanyalah perspektif saya pribadi. Jika kamu merasa punya jalan terbaik untuk menghadapi kegelisahan yang saya alami sekarang, just do what you think it’s right for you.

BACA JUGA - Yang Saya Tahu dari Kancah Musik Alternatif di Taiwan

Prabu Pramayougha

Prabu Pramayougha adalah seorang musisi dan penulis musik. Dia seringkali ditemukan berbicara dan memainkan gitar secara sembrono di atas panggung bersama unit punk rock Saturday Night Karaoke. Dia pun baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul Don’t Read This! : Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa di tahun 2022.

 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner