Musik Independen Bandung Milik Perancis

Musik Independen Bandung Milik Perancis


Institut Français d’Indonésie (IFI), Bandung | Sumber: https://www.ifi-id.com/

Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di kota Bandung yang mungkin luput dari perhatian media, terkait dengan gelaran musik independen. Seperti yang kita semua tahu bahwa di kota Bandung kekurangan sarana dan fasilitas gedung pertunjukan. Jika kita tarik mundur kembali, peristiwa "Sabtu Kelabu" (9 Februari 2008) adalah salah satu contoh betapa kurangnya sarana gedung pertunjukan yang murah dan mudah untuk diakses dapat dipergunakan oleh komunitas musik independen di Bandung, hingga terjadilah tragedi tersebut. Gedung pertunjukan AACC tidak mampu menampung kapasitas penonton yang sangat antusias untuk menonton pertunjukan band idola mereka. Pasca ditutupnya Gor Saparua yang biasa menyuguhkan festival musik independen setiap akhir pekan, komunitas musik maupun musisi independen kembali bergerilya mencari gedung pertunjukan yang memungkinkan untuk dipergunakan.

Sebetulnya, pasca ditutupnya Gor Saparua beberapa alternatif gedung pertunjukan yang dimiliki oleh pemerintah kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat tersedia di kota Bandung. Ada gedung Sabuga yang mempunyai kapasitas melebihi Gor Saparua dengan akustik gedung yang memang dirancang khusus untuk pertunjukan musik, Taman Budaya Jawa Barat atau lebih dikenal Dago Tea House yang memiliki fasilitas pertunjukan dalam ruangan dan luar ruangan dengan kapasitas 500 penonton, Gedung kesenian YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), gedung kesenian Baranang Siang dan gedung kesenian Mayang Sunda. Ada juga fasilitas gedung olah raga yang bisa berfungsi untuk gedung pertunjukan yang pengelolaannya dimiliki oleh pihak swasta. Ada gedung Eldorado yang mampu menampung penonton hingga 1000 penonton di kawasan Bandung Utara, gedung Balai Sartika atau pun beberapa fasilitas auditorium yang dimiliki oleh kampus negeri maupun swasta di kota Bandung. Sempat muncul juga pilihan lain ketika para musisi dan komunitas independen menggunakan bar dan diskotik untuk menggelar konser musik. Walaupun dengan kapasitas tempat yang terbatas dan desain ruangan yang tidak diperuntukan untuk pertunjukan musik yang berakibat kualitas pertunjukan menjadi tidak maksimal.     

Persoalan yang mengemuka di kalangan musisi maupun komunitas independen Bandung terkait dengan akses pada gedung pertunjukan yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta ada banyak ragam. Yang paling sering didengar adalah mahalnya harga sewa yang ditetapkan oleh pengelola gedung. Tiap gedung pertunjukan dengan kapasitas di atas 300 penonton harganya beragam. Yang pasti, harga sewanya di atas 20 juta per hari, belum termasuk biaya untuk perizinan. Persoalan lainnya adalah masih ada pola diskriminatif yang terjadi di wilayah birokrasi pemerintah, apalagi jika terkait dengan kata ‘independen’ atau ‘underground’. Kawan-kawan yang terbiasa menggelar pertunjukan mengeluhkan fenomena tersebut. Kalangan birokrat yang menangani pengelolaan gedung pertunjukan selalu beralasan bahwa gedung pertunjukan mereka hanya diperuntukan untuk pagelaran acara kesenian dan budaya tradisional, seperti yang terjadi pada Taman Budaya Jawa Barat yang dikenal dengan Dago Tea House.

"Apapun jenis rupa seni, baik itu modern maupun tradisional yang hadir di kota Bandung telah mampu mempromosikan geliat estetika kota Bandung sehingga mampu dikenal menjadi barometer kesenian di Indonesia, terutama barometer musik independen."

Dikotomi antara seni modern dan seni tradisi masih dipakai oleh pemerintah sebagai alasan untuk mengkotak-kotakan kesenian dan budaya dalam frame berpikir yang masih feodal. Padahal, fungsi dan kedudukan seni sebagai salah satu alat untuk mempromosikan geliat dinamika ekspresi budaya sebuah kota sangatlah penting. Seni tradisional maupun seni modern atau kontemporer. Apapun jenis rupa seni, baik itu modern maupun tradisional yang hadir di kota Bandung telah mampu mempromosikan geliat estetika kota Bandung sehingga mampu dikenal menjadi barometer kesenian di Indonesia, terutama barometer musik independen.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner