Musik Etnik Kembali Bergeliat

Musik Etnik Kembali Bergeliat

Semakin banyak dan semakin luas jaringan kelompok musik etnik ini terbentuk, dapat membuka semakin banyak peluang dan kemungkinan untuk menciptakan ruang-ruang berkarya yang produktif dan inovatif

Geliat  musik  etnik  di  Kota  Bandung  kembali  menjamur.  Seiring  dengan banyaknya event musik yang mulai kembali menggerakan rodanya di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir. Pada awal pandemi, hampir semua musisi mau tidak  mau harus hiatus karena situasi dan  kondisi  yang memang tidak  memungkinkan untuk menggelar  konser-konser  musik  yang  disinyalir  dapat  menimbulkan  kerumunan, tentunya sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus covid 19. Namun demikian seiring  berjalannya waktu,  para  musisi  pun  tak  kehabisan akal,  banyak  di  antara mereka mulai menggelar konser dari rumah dengan perlengkapan seadanya, untuk menyalurkan kerinduan menjamah kembali panggung pertunjukan.

Banyak pula dari mereka yang mulai membuat  rumah produksi  dadakan atau home recording  untuk memfasilitasi  pembuatan  karya  agar  lebih  optimal.  Hasil  karya  ini  beberapa  di antaranya berhasil mendapatkan ruang dan apresiasi secara virtual, dan justru malah menjadi angin segar, karena apresiator yang tadinya mungkin sangat terbatas karena ruang dan waktu, menjadi sangat luas jangkauannya, mengingat kemudahan dalam mengakses ruang pertunjukan secara virtual yang dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja. 

Para musisi dan seluruh penggiat musik agaknya mulai dapat beradaptasi dan memanfaatkan segala peluang yang ada. Pandemi tidak lagi menjadi batasan untuk berkarya. Pandemi tidak  lagi menjadi batasan untuk  bergerak menciptakan ruang- ruang pertunjukan yang dapat dinikmati khalayak secara luas. Namun demikian semua ini tentunya dapat terwujud berkat perkembangan teknologi yang sudah begitu pesat, sehingga hal ini mampu memfasilitasi interaksi publik dalam ruang lingkup yang besar tanpa harus bertatap muka secara langsung. Selain itu, hadirnya ruang pertunjukan secara virtual juga turut andil dalam menggerakan kembali geliat panggung pertunjukan musik di Kota Bandung. Salah satu penggerak panggung pertunjukan musik etnik di Kota Bandung adalah Ethnic Creative Base yang diprakarsai oleh Kang Erlan Suwandana (Kendangers Ethno Progressive), dan Kang Ipo (Kendangers Saratuspersen).

Ethnic Creative Base (ECB) sendiri merupakan jaringan kelompok  musik etnik yang berbasis  di  Bandung  namun  menaungi  kelompok  musik  etnik  yang  tersebar  di beberapa wilayah di Jawa Barat. Sebelum pandemi, ECB aktif membuat ruang pertunjukan musik etnik mingguan yang menampilkan beberapa kelompok musik etnik setiap minggunya. Tidak hanya itu, ECB juga membuka  ruang diskusi karya untuk membedah karya kelompok musik etnik yang telah tampil, sekaligus membuka wacana berpikir kritis antar sesama anggota jaringan menyoal proses berkreasi musik etnik. Menariknya, hampir setiap kali kegiatan mingguan ini diselenggarakan, apresiator yang hadir justru mayoritas adalah para generasi muda yang haus akan bahan apresiasi yang bergizi. Mereka juga kebanyakan adalah seniman-seniman muda, musisi dan komponis yang juga aktif membuat karya-karya musik etnik.

Secara tidak langsung, penyelenggaraan kegiatan ini nyatanya mampu membentuk ekosistem  musik  etnik tersendiri di Kota Bandung. Tempat kegiatan yang dengan sengaja diselenggarakan di ruang publik seperti kafe dan resto tempat anak muda banyak berkumpul, juga bisa dianggap sebagai strategi pengenalan kembali formulasi baru musik etnik kepada khalayak masyarakat luas, khususnya para generasi milenial bahkan anak-anak tahun 2000an. Tanpa sadar ECB dan jaringan kelompok  musik etnik juga telah membuka kemungkinan untuk memperluas lagi ekosistem musik  etnik, khususnya  di  Kota Bandung tempat kegiatan terselenggara.

Hal ini juga tentu saja berimbas pada semakin banyaknya kelompok musik etnik yang kembali produktif  dan berjejaring bersama, ataupun kelompok-kelompok  baru yang terbentuk berkat dorongan keinginan berkarya setelah mengapresiasi karya musik dari para kelompok musik etnik terdahulu yang turut tampil dalam pertunjukan mingguan tersebut. Tidak cukup  sampai disitu,  ECB juga sempat bekerja sama dengan para komposer dan musisi dari jaringan kelompok musik etnik yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya untuk memproduksi sebuah album musik etnik, yang merupakan kompilasi karya-karya kelompok musik etnik yang terjaring dalam ECB. Dalam album tersebut  masing-masing  kelompok  membawakan satu buah lagu andalannya untuk kemudian direkam baik audio maupun visual, yang juga sekaligus menjadi arsip jejak kelompok musik etnik. Namun demikian, nyatanya awal pandemi menjadi titik balik ECB karena mau tidak mau harus menghentikan sementara segala proses dan rencana yang telah disusun termasuk kegiatan mingguan ECB.

Meskipun kegiatan mingguan tersebut sempat terhenti karena pandemi, namun kini ECB mulai kembali membuat gebrakan lewat ruang pertunjukan musik etnik virtual yang telah dan  akan terus  diselenggarakan. Hal ini  membuktikan  bahwa  pandemi nyatanya tidak akan menjadi hambatan bagi mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat  dan  mampu  memanfaatkan  teknologi  digital  yang ada. Musik  etnik  di  Kota Bandung khususnya mulai kembali bergeliat dan menemukan ruang-ruang pertunjukannya. Meski bermain musik etnik di panggung pertunjukan virtual tidak akan pernah sama euphoria-nya dengan bermain di panggung langsung, namun paling tidak para penggiat musik etnik tidak kehilangan panggungnya untuk terus berkarya dan berdaya.

Dalam waktu  dekat,  Kang  Erlan mengungkapkan  bahwa  ECB sedang  merancang sebuah pertunjukan musik etnik virtual dengan skala yang lebih luas, bekerja sama dengan Indonesia World Music Series, yang merupakan jaringan kelompok musik etnik dengan cakupan seluruh Indonesia. Pertunjukan virtual ini merupakan seri ke dua dari rangkaian Sound of Archipelago yang sebelumnya telah digelar pada tahun 2020 lalu. Kang Erlan berharap semakin banyak dan semakin luas jaringan kelompok musik etnik ini terbentuk, dapat membuka semakin banyak peluang dan kemungkinan untuk menciptakan ruang-ruang berkarya yang produktif dan inovatif, sebagai bagian dari misi untuk memperkenalkan kembali dan menumbuhkan kembali rasa cinta dan memiliki terhadap musik etnik yang merupakan budaya asli negeri kita.

Semoga kehadiran ECB juga dapat menjadi pemantik bagi para seniman, musisi dan komponis di  mana saja, untuk  dapat  bersinergi bersama dan  membentuk  support system demi kemajuan musik etnik Indonesia, dan juga semoga ketersediaan ruang apresiasi yang memadai dapat  kian menjamur, agar karya-karya musik etnik tidak menguap begitu saja, tapi dapat tersalurkan. Bukan begitu baraya? 

BACA JUGA - Mencoba Realistis Dalam Realita Industri Musik Nusantara

Maulana Agung 'Stringer'

Maulana Agung Stringer, Bapak anak satu yang menolak tua dan memilih untuk tetap terlihat seperti pemuda awal 20-an. Sudah lama bergelut di dunia musik tapi masih belum diketahui siapa pemenangnya, karena gelutna teu eureun-eureun nepika ayeuna. Setelah merasa bosan main karya orang lain, Agung memutuskan untuk membuat karyanya sendiri yang kemudian dimainkan oleh orang lain. Agung bisa dibilang manusia langka, karena tergolong gitaris multigenre yang kabula kabale, terbukti dari berbagai grup musik yang telah digawanginya seperti Malire, Ethno Progressive, Gumam, dll. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner