Musik Ekstrim, Antara Tradisi dan Trendi

Musik Ekstrim, Antara Tradisi dan Trendi

Saya pernah sedikit menyinggung persoalan bagaimana sebagian kawan-kawan di band yang menggunakan atribut pocong dan sebagainya, dianggap sebagai bukan bagian dari Black Metal, dan bahkan menerima ejekan, hujatan, atau semacamnya. Lalu pada salah satu tulisan tersirat bahwa saya menjadi semacam pembela, atau juru bicara kawan-kawan tersebut. Terus kenapa? Bukan sesuatu yang bermasalah juga, bukan?

Tapi coba mari kita lihat di sisi yang lain. Maksud saya, bagaimana dengan mereka yang membawakan Black Metal sebagai musik dan tampilan, nampak keren, namun tak pernah benar-benar bisa masuk dalam ranah Black Metal itu sendiri karena beberapa faktor. Pertama, karena mereka tidak lahir dari tradisi Black Metal itu sendiri. Kita tentu paham bahwa Black Metal merupakan sub genre atau anak bungsu dari Heavy Metal, yang dilahirkan dengan segala kontroversinya. Dalam hal ini, tidak menampik fakta bahwa para perintis Black Metal itu dulunya juga pernah memainkan beberapa aliran musik Heavy Metal, sampai kemudian menciptakan formulasi yang lebih ekstrim di masanya. Dan hal itu bukanlah kasus khusus, karena telah menjadi fenomena umum sebagai bagian dari proses kreatif para musisi. Sebagian yang sukses masuk ke industri besar dan merambah pasar lebih luas, malahan mempersembahkan album penghormatan kepada sejumlah band, atau musisi yang pernah memberikan pengaruh-pengaruh awal hingga ke titik pencapaian mereka. Salah satu contoh populer adalah Metallica, yang pernah merilis album ganda Garage Inc, sebagai wujud penghormatan mereka pada sejumlah band yang punya pengaruh kuat bagi mereka. Yang hendak saya sampaikan dalam kaitannya dengan faktor yang pertama ini adalah tidak ada yang tiba-tiba muncul begitu saja. Kamu yang sekarang ini dianggap sangat Metalhead tentu lahir bukan dalam keadaan gondrong, berbusana serba hitam, sangar, atau semacam itu kan? Semua hadir secara bertahap dan sangat natural.


Metallica - Garage Inc. - Foto: www.discogs.com

Kawan saya pernah berujar, selain terus menggali dan menyeleksi referensi musik (band) terkini, ia terus menerus mencoba update ke belakang. Jas Merah. Jangan sekali-kali lupakan sejarah. Di samping itu, titik untuk masuk dan melibatkan diri dalam proses tersebut cukup acak. Misal, kawan saya itu menyatakan bahwa aliran musik yang bagi dia sangat berkesan di masa belianya adalah Thrash Metal. Lebih spesifik lagi, ia merujuk pada satu nama band bernama Metallica. Semakin mengerucut lagi, ia tambahkan bahwa album yang paling berkesan adalah …And Justice for All. Baginya, tak akan pernah cukup jika hanya mengenal (dan mendengarkan) satu band dengan beberapa albumnya. Terlebih karena dari situlah ia pertama kali mendengar istilah “Thrash Metal”. Alhasil, dari situlah ia mulai meraba-raba, dan mengulik berbagai nama, termasuk yang digolongkan sebagai “The Big Four” di ranah Thrash Metal. Membaca-baca sejarahnya, mulai mendenger referensi yang terbaru, dan tentu saja yang kanon dari ranah Heavy Metal, seperti Black Sabbath, Iron Maiden, Motörhead, dan lain sebagainya.

Faktanya, sampai hari ini ia mengakui kalau aliran musik yang masuk, atau dianggap mewakili dirinya adalah Thrash Metal. Yang perlu dicatat juga adalah pengalamannya menggali referensi yang awalnya cukup susah, karena waktu itu belum mengenal akses internet, dengan hanya bermodalkan bacaan-bacaan yang masih sangat terbatas, dan tentu saja jaringan perkawanan, yang salah satunya ditebus dengan sejumlah koleksi rekaman fisik berbentuk kaset. Ya, itulah yang saya sebut sebagai tradisi. Jika bicara dalam konteks musik ekstrim, tentu bisa dibayangkan bagaimana proses pergulatan dan pencarian itu. Tidak semata bermodal bahan bacaan atau mengabaikannya. Namun juga perihal jaringan perkawanan itu terbentuk, entah dengan membuat band, mengupakan gigs kecil-kecilan, saling berbagi informasi.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner