Musik di Sungai Sebayang

Musik di Sungai Sebayang

“Setiap orang dianugerahi bakat. Tuhan memberinya titi nada tertentu, nada alami, dan bila titi nada tersebut berkembang dan ia mengembangkan nada alami itu, ini adalah sebuah keajaiban dapat melakukan sebuah mukjizat. Tapi ia harus memikirkan aula tempat ia harus menyanyi, dan seberapa keras ia harus berteriak!”

-Hazrat Inayat Khan

 

Tulisan ini saya buka dengan kutipan kuat yang diambil dari beberapa gagasan Hazrat Inayat Khan, salah seorang musisi yang berhenti bermain musik karena ingin melayani Tuhan dengan mengorbankan seluruh miliknya dan yang dia cintai, yaitu musik. Karenanya, kemudian dia mengumumkan ke khalayak ramai tentang kontemplasinya selama menggubah lagu, menyanyi dan bermain vina dengan menuliskan sebuah buku ajaib yaitu “Dimensi Musik dan Bunyi”.

Saya tidak bermaksud mengintervensi siapa pun untuk membacanya, atau memberi tahu bahwa saya membacanya, tidak! Akan tetapi, pada tulisan kali ini saya ingin bercerita di mana hal-hal yang saya temukan selama mencurahkan sebahagian hidup saya di dunia musik, sebahagian lainnya pada keluarga tercinta, terwakili oleh gagasan-gagasan Hazrat Inayat Khan yang tidak menutup kemungkinan, banyak musisi lain atau siapapun juga terwakili olehnya.

Beberapa bulan yang lalu, saya tengah berada dalam perjalanan jauh. Untuk pertama kalinya, saya menempuh perjalanan yang (hanya) melalui musik saya dapat menempuhnya. Waktu itu, saya sedang menyeberang sebuah sungai yang begitu luas di pulau Sumatera; sungai Sebayang. Samping kanan dan kiri adalah tumbuhan hijau dan pohon-pohon yang akarnya menjalar di tepian sungai. Kejernihan air sungainya tidak bisa dibandingkan dengan sungai-sungai yang sudah saya kunjungi semasa kecil.

Ketika kami sampai di tepian, beberapa orang sedang menarik jaring ikan lalu membagikan kepada kami, dan seketika kami membakarnya bersama-sama di pinggir sungai dengan melepas atasan baju yang basah kuyup terjebur air sebelumnya. Lalu, kami lambaikan tangan dan tersenyum lebar tanda ucapkan teriakasih kepada nelayan tersebut. Betapa hangatnya, semiotik seperti itu hanya Indonesia yang memilikinya.

Di tengah kami membakar ikan tawar—saya lupa jenis ikannya—saya menghela nafas panjang. Seperti itulah lagu Shankara terlihat pada waktu saya membuatnya. Di sanalah Shankara, kisah tanah indah yang bertabur cahaya surga. Seketika pada waktu itu saya berdoa, semoga para pejabat tidak berkunjung kemari, semoga iman-iman kami masih pada kemanusiaan dan kelestarian alam.

Solois yang satu ini merupakan musisi dari kota Malang. Dengan lirik-lirik yang sarat makna, pola vokal yang berkarakter, dan petikan gitar yang unik, Iksan Skuter memberikan warna tersendiri untuk ranah musik independen tanah air.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner