Musik di Seputar Vagina

Musik di Seputar Vagina

Dalam industri musik, perempuan acap kali diposisikan sebagai produk musik untuk "dijual" dari para pemilik label rekaman yang memiliki kontrol penuh terhadap produknya. Kontrol penuh bisa diartikan dengan menciptakan sebuah sistem standarisasi sebuah produk. Contohnya, standarisasi wajah, tinggi badan, ukuran tubuh, warna kulit dan hal lainnya yang sebetulnya tidak berhubungan dengan musik maupun proses penciptaan karya musik itu sendiri.

Feminisme sendiri tumbuh dari apa yang terjadi di Eropa, di abad pertengahan. Saat itu, gereja menurunkan status perempuan hingga menyebut bahwa perempuan adalah makhluk "kelas dua" di dunia, hingga termasuk dalam kaum yang dimarjinalkan. Perempuan hanya dijadikan pemuas syahwat dan mesin reproduksi penerus keturunan. Pola ini yang pada akhirnya diadopsi dan dilanggengkan oleh budaya musik populis yang menjadi bagian dari pola sistem perputaran kapital. Perempuan dalam industri musik Indonesia pun tak terkecuali terkena imbasnya, dijadikan pemuas syahwat dalam imajinasi setiap pendengarnya. Untuk menjadi penyanyi, perempuan sukses harus punya wajah cantik, badan sintal, suara seksi dan berani tampil seronok di atas panggung sebagai bonus. Lirik? Jangan berharap mereka, para pencipta lagu membawa pesan terhadap isu feminisme. Yang terjadi adalah justru proses eksploitasi mengikuti selera syahwat pasar.

Di tengah hingar bingar industri musik Indonesia dengan perempuan sebagai objek eksploitasi, ada sebagian perempuan yang mencoba melawan deras arus musik dengan tema-tema populis. Mereka mencoba konsisten berkarya dalam keheningan dan melakukan eksplorasi menggali isu-isu non populis seputar dunia perempuan. Seiring dengan pemahaman gerakan feminisme, akhirnya ada sebagian individu yang berhasil melewati tahap di mana kita tak lagi memandang perempuan sebagai objek. Ada perempuan yang memiliki daya juang, yang diam-diam melakukan perlawanan dengan caranya masing-masing, termasuk para perempuan yang tergabung dalam skena musik dan komunitas. Mereka bergerak melawan dengan cara yang halus, tersembunyi dan berani untuk tidak tereksploitasi.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner