Metal adalah Budaya Baru Indonesia

Metal adalah Budaya Baru Indonesia

Narasi pengantar untuk Wacken Metal Battle Indonesia 2018

Memori saya kembali mundur ke tahun 2008, ketika peristiwa Sabtu kelabu 9 Februari terjadi. Seminggu berselang setelah peristiwa itu, saya dan beberapa kawan dari komunitas musik underground mendatangi sebuah pertemuan yang digagas oleh pihak pemerintah kota Bandung di sebuah hotel. Inti dari pertemuan tersebut adalah pemerintah kota Bandung saat itu mencoba menyikapi peristiwa Sabtu kelabu sebagai sebuah kecelakaan semata dan mencoba menggiring opini publik bahwa peristiwa tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan pihak pemerintah kota yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak atas sarana dan prasarana kegiatan dan ekspresi anak muda di kota Bandung. Salah satu panelis yang diundang untuk berbicara dihadapan wartawan adalah tokoh seniman dan budayawan senior, Remmy Sylado. Selain itu, juga dihadirkan rocker senior Andi /rif dan beberapa perwakilan event organizer di kota Bandung.

Dalam paparannya, Remmy Sylado sebagai salah satu seniman yang berkiprah di Bandung dan mengalami secara langsung perubahan dan peta kesenian selama kurang lebih 40 tahun menjelaskan sejarah masuknya musik underground ke kota Bandung dengan berbagai ekspresinya. Menurut Remmy, musik underground yang datang dari Amerika dan Eropa sama sekali tidak mengakar dan berakulturasi dengan ekspresi lokal. Parameter yang dipakai oleh Remmy saat itu adalah banyak sekali band yang bermunculan dan memainkan musik underground namun lebih kepada menjadi “copycat” dari band yang telah ada. Band lokal di Bandung saat itu berlomba untuk menjadi yang paling mirip dengan idola atau band yang menjadi inspirasi mereka. Gelombang tren ini makin membesar seiring dengan adanya eksploitasi dari media dan menggeliatnya industri musik di Indonesia.  Dikarenakan anak muda saat itu hanya menjadi konsumen, maka musik underground saat itu hanya jadi bagian dari konsumsi massa yang mengambang. Fenomena musik underground hanya menjadi gelombang tren sesaat dan mati secara perlahan. Intinya, musik underground tidak bisa di“Indonesiakan” dan menjadi bagian dari sebuah ekspresi budaya anak muda (youth cultures) yang dinamis.

Jika kita berkaca pada definisi kebudayaan yang pertama kalinya di perkenalkan oleh Sir Edward Burnett Taylor, seorang ahli Antropologi Inggris pada tahun 1871, ia mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain. Kesenian, dalam hal ini seni musik, adalah bagian dari kebudayaan akan terus mengalami dinamisasi. Ketika gelombang musik rock hippies yang digawangi oleh Black Sabbath, Deep Purple, Led Zeppelin mulai surut dan ditinggalkan oleh industri media dan industri musik dan berganti dengan gelombang kebudayaan yang baru. Generasi hippies berganti dengan generasi milenial yang mengalami percepatan dalam berbagai hal terkait dengan makin pesatnya perkembangan teknologi informasi. Pertukaran informasi terjadi dengan begitu cepat dan berpengaruh besar terhadap perubahan di tataran sosiokultur di Indonesia, termasuk di ranah musik underground.

Bandung adalah salah satu contoh kota yang memiliki gairah yang cukup tinggi untuk merespon ketika gelombang kebudayaan milenial menerpa. Pasca runtuhnya rezim otoriter yang mengekang, segala bentuk ekspresi individu dan membungkam kebebasan berpendapat dan di tengah budaya industri dan pergulatan identitas di tengah terpaan gelombang globalisasi anak muda di Bandung khususnya di bidang musik underground justru mampu hadir dengan identitas yang khas dan mampu memberikan inspirasi bagi komunitas di kota lain. Semangat komunalisme dan etos kerja “Do It Yourself (DIY)” menemukan bentuk yang berbeda ketika sistem tersebut hadir di tengah dinamika pergerakan musik underground di Indonesia. Berbeda dengan apa yang dilakukan di Amerika dan Eropa, di mana etos tersebut dijalankan dengan cara yang benar-benar mandiri, alias semuanya dilakukan sendiri.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner