Metafora Komposisi Imajinar
Mulanya Biar Tidak Telanjang Saja
Jika menilik pada sejarahnya, sampul album musik memang awalnya bukan ditujukan sebagai “pemanis” karya rekaman, melainkan mengusung fungsi yang lebih fungsional. Sampul album musik pertama kali muncul pada awal abad ke-20 dalam bentuk polos untuk format piringan hitam dan hanya berfungsi sebagai pelindung dari debu, kotoran, dan goresan.
Sampul polos di kala itu cuma memuat informasi dasar sebuah album rekaman—seperti nama musisi/band, judul album, daftar lagu dan durasi, nama musisi atau anggota band, serta catatan kredit bagi mereka yang terlibat dalam proses rekaman.
Pada pertengahan abad ke-20, gambar sampul album mulai menampilkan foto-foto musisi, judul album, dan visualisasi menarik lainnya. Sejak saat itu, orang-orang yang bergerak di industri musik mulai sadar kalau sampul album bukan sekadar pelindung belaka, namun bisa juga menjadi penyampai visi dan identitas yang dikehendaki musisi maupun label rekaman. Sisi artistik pun mulai ditonjolkan.
Dalam perkembangannya, rancangan sampul album mampu berjalan seiring dengan pencapaian pada kancah seni atau industri musik itu sendiri. Perkembangan visual dan gaya seni (rupa) tersebut bisa ditelisik dari karya-karya para ilustrator dan perancang grafis yang berpengaruh pada masanya.
Sebut saja misalnya Alex Steinweiss yang memelopori kemasan dan standarisasi sampul album (piringan hitam) sejak akhir era '30-an. Lalu di era '50-an muncul sosok seperti Reid Miles dan David Stone Martin. Sementara di era '60-an ada nama Carl Schenkel dan Rick Griffin.
Kemudian pada era '70-an ada nama-nama kesohor mulai dari Andy Warhol, Roger Dean, hingga Hipgnosis. Di era '80-an ada Peter Saville, juga Pushead. Di era '90-an ada David James, Carlos Segura, Dan Seagrave, Stanley Downwood, dan Robert Fisher. Sejak era 2000-an kita mengenal nama John Dyer Baizley, Paul Romano, dan semakin banyak lagi.
Comments (0)