Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Hai semua, perkenalkan namaku Oscar Lolang, aku adalah musisi dari Negara yang Merdeka, dan aku merdeka dalam bermusik. Begitulah perkenalan yang baik untuk judul yang baik, dalam gaung semarak kemerdekaan Indonesia ke 75. Setelahnya, dalam tulisan yang baik untuk judul yang baik, aku akan membahas tentang bagaimana aku memiliki kebebasan dalam memilih, mencipta, mengolah dan merilis musik. Bagaimana aku merefleksikan keringat dan darah para pejuang dalam peluh karyaku. Tentang bagaimana Oscar, dengan katalog laguku yang protes sosial mengharapkan perubahan tatanan dengan gema musik ku. Lalu ditutup kesimpulan yang penuh dengan semboyan-semboyan mempertahankan kemerdekaan dan rasa syukur atas belenggu penjajah yang sudah 75 Tahun lepas, sambil mengutip kalimat-kalimat bernada ‘tegap gerak!’ yang cukup monoton yang sering terpampang di baliho dan spanduk-spanduk diklat kepolisian atau TNI. Itu akan menjadi satu pembahasan kemerdekaan yang cantik. Merdeka yang cantik dan musik sebagai bumbu kalcer pop yang simbolik yang gak kalah cantik. Sayangnya untuk judul yang baik, ini bukan paragraf pembuka yang benar.

Kabar buruk untuk dunia, kemerdekaan—dalam artian bebas dari belenggu—tidak sesimpel itu. Kurasa selain aku pribadi, banyak sekali orang yang merasa demikian. Seperti di narasi postingan orang-orang di 17an kemarin, banyak sekali yang menggunakan momentum event hari kemerdekaan untuk menyentil the lack of kemerdekaan itu sendiri. Pasti banyak yang berkomentar : Namun demikian itu terejewantah suatu bentuk demokrasi sebagai simbol merdeka, atau hak dan kebebasan ada di tangan kita. Tetapi sekali lagi, tidak sesimpel itu.

Banyak ihwal yang akan aku bahas di sini adalah berdasar pengamatan awamku dan pengalaman yang sangat personal tentang bagaimana aku memahami makna kemerdekaan, terutama dalam eksplorasi pengkaryaan—dalam konteks ini, musik.

Pertama-tama, untuk membuka, kita semua tahu bahwa kita tidak bisa berekspresi sebebas yang kita mau. Ekspresi kita ditentukan oleh seberapa sensitif Negara dan warganya ini. Contoh saja kasus yang menimpa JRX, drummer Superman Is Dead. Di titik itu aku melihat bahwa hak berekspresi kita dengan mudah direpresi oleh siapapun yang tersinggung atau siapa yang bakal menuntut, dalam kasus JRX, yaitu IDI. Rasanya naif kalo kita berbicara tentang dampak baik kemerdekaan dalam curahan karya kalau beragam bentuk ekspresi saja masih dibungkam oleh hukum. Tetapi aku tidak akan membahas banyak soal ini. Aku memahami bahwa bukan merupakan posisi ku untuk berbicara soal ini lebih dalam, menurutku banyak sosok-sosok lain yang lebih ahli.

Belum lagi dunia kesenian Indonesia selalu berhadapan dengan satu kata yang cukup menyeramkan didengar, sensor. Banyak sekali keluhan-keluhan yang muncul dari para seniman terkait ini. Lembaga sensor sebenarnya mencerminkan kode moralitas yang dianut oleh Negara yang dipaksakan ke warganya. Seringkali nilai, norma dan moralitas yang dianut ini sulit berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan zaman. Dan itu juga sangat berpengaruh dengan perkembangan khazanah kesenian. Namun, sekali lagi, aku tidak berada di posisi yang pas secara pemahaman untuk membahas ini lebih lanjut. Tetapi, ada dua konsep yang menarik di sini, yaitu nilai dan kode moralitas.

Memang, perihal nilai, norma dan kode moralitas itu bisa sangat berbeda di tiap-tiap budaya dan daerah. Indonesia adalah Negara yang sangat luas. Baik secara luas wilayah geografis juga ragam kebudayaannya. Indonesia sebagai Negara yang mengatasnamakan dirinya berdiri dengan landasan kesatuan, memang harus memiliki satuan Nilai & Norma yang dapat merangkum atau mengikat semuanya. Sehingga dapat menghasilkan satuan entitas tersendiri juga. Kini, satuan itu bisa ditemukan diranah yang lebih maya dan mengawang, yaitu sosial media dan dunia internet. Pergulatan dalam menentukan satuan nilai, norma dan pemberian judgement terhadap nilai dan norma lain yang nyebrang, di dunia maya ini acap kali sama mengerikannya dengan Negara sebagai lembaga dan sistem. Yang membuatnya lebih menyeramkan adalah, kalau nilai dan norma yang dirangkum oleh Negara untuk kemudian dijadikan entitas berupa undang-undang, diputuskan dalam waktu yang tidak sebentar dan tidak ujug-ujug—meskipun kita tahu banyak permainan politik yang juga tidak sehat—di dunia internet, semua itu terjadi dengan cepat dan cenderung didasari atas asas manasuka.

Oscar Lolang is a folk singer-songwriter from Indonesia. His background as an Anthropology student plus his fondness for Nick Drake, Peter Paul and Mary, Pete Seeger, and Simon & Garfunkel makes him capable to put boldness and honesty in his music. It's depicted since his earlier Soundcloud song (Bila), his first and second single (Eastern Man and Little Sunny Girl), to his first album 'Drowning in a Shallow Water'.

Since he was a child, he has been playing guitar and putting a lot of interest to history, culture, humanism, and folklore. Joined a young record label from Jakarta, Karma Records in late 2015, Oscar has released one demo-album titled Sanctigold (2016), one mini-album titled Epilogue (2017), and a full length album titled Drowning in a Shallow Water (2017). He has collaborated with other fresh names in Indonesian Indie Music Scene like .Feast, The Panturas, Sky Sucahyo, to Efek Rumah Kaca.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner