Menyikapi Tren K-Pop

Menyikapi Tren K-Pop

Sebut saya kuno, kolot, bangkotan, silakan. Senjindang—seni jingkrak dan dendang—macam NKOTB itu bagi saya khianat pada esensi seni pertunjukan yang adiluhung. Saya lebih melihatnya sekadar seperti orang berjualan pada umumnya: barang dipoles agar terlihat bagus, dipermanis, dieksploitasi agar lekas laku, gincu belaka. Lebih banyak urusan berdagangnya dibanding urusan berkesenian. Musik cuma kosmetik. Intinya perniagaan saja, sedangkal itu.


BTS — Sumber Foto: trendingallday

Saya malah lebih doyan dengan, katakanlah, kelompok akil balik memainkan musik bising tiga jurus yang sederhana. Walau membikin kuping mendengung, tapi bagi saya lebih luhur karena membawakan karyanya sendiri, menjadi dirinya sendiri. Karya-karya di awal mungkin masih belum bisa dibilang masuk standar estetika. Maklum masih belajar, proses transisi. Semoga di kemudian hari kian matang lalu mampu menghasilkan karya yang mumpuni. Perjalanan menuju kedewasaan macam demikian yang menurut saya jauh lebih baik dibanding instan seperti NKOTB dan boy/girlband lainnya.


Super Junior — Sumber Foto: ABS-CBN

Begitu pula K-pop ini, saya melihatnya tidak ada bedanya. Formulanya yang digunakan relatif masih sama. Walau mutunya telah jauh membaik—biduan/biduanitanya beneran mengerti harmoni, gerak dan tarinya kian eksplosif dan kompleks. Tapi, prinsip dasarnya tak berubah: rekayasa, ada dalangnya, yang senjindang di panggung hanya wayang, kumpulan boneka. Memang, telah mulai satu-dua anggota boy/girlband yang mencipta lagunya sendiri. Namun, belum bisa dibilang jumlahnya signifikan. Plus, aroma berdagangnya masih terlalu kuat, sangat mengecilkan sisi berkeseniannya. Pendeknya, bagi saya fenomena boy/girlband, K-pop ini fenomena garing. Dandanan bling, jejingkrakan, menyanyi sahut-sahutan dengan lirik picisan, serta dikawal oleh cukong kesenian sang malaikat penentu. Saya lebih menyukai band-band indie dengan karya sendiri, yang berdiri di atas kakinya sendiri, menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Dari segala ketidaksukaan saya pribadi tersebut, bagaimana pun juga, harus diakui meroketnya pamor K-pop di skena musik dunia, gilang-gemilangnya mereka mensejajarkan diri dengan pelaku musik global lainnya, ini pantas diacungi jempol. Sungguh sebuah usaha yang tak mudah untuk mencapai posisi seberingas itu. J-pop, fenomena budaya pop asal Jepang, saja cuma bisa bertahan sebentar. Belakangan, trennya menurun meredup. K-pop pelan tapi pasti terus merangkak naik. Hingga kini benar-benar mendunia, dengan legiun penggemar nan fanatik.

Rudolf Dethu memiliki beragam profesi. Mulai dari manajer band, penulis buku, jurnalis, pengamat musik, aktivis gerakan sosial kemasyarakatan, koordinator program kesenian, sempat menjadi penyiar radio cukup lama, pun menyandang gelar diploma di bidang perpustakaan segala.

Pernah ikut menyelenggarakan salah satu festival industri kreatif terbesar di Indonesia, Bali Creative Festival, selama 2 tahun berturut-turut. Namanya mulai dikenal publik setelah turut berperan membesarkan Superman Is Dead serta Navicula.

Belakangan ini, Dethu disibukkan utamanya oleh 3 hal. Pertama, Rudolf Dethu Showbiz, band management yang mengurusi The Hydrant, Leanna Rachel, Manja, Athron, Leonardo & His Impeccable Six, Negative Lovers, dan Sajama Cut. Kedua, Rumah Sanur - Creative Hub, di mana ia menjadi penyusun program pertunjukan musik dan literatur. Ketiga, MBB - Muda Berbuat Bertanggungjawab, forum pluralisme yang mewadahi ketertarikannya pada isu kebinekaan dan toleransi.

View Comments (2)

Comments (2)

  • SCREAMINBUBBLE
    SCREAMINBUBBLE
    12 Jun 2019
    sangat bagus dan mendalam pak ?
  • SCREAMINBUBBLE
    SCREAMINBUBBLE
    12 Jun 2019
    sangat bagus dan mendalam pak
You must be logged in to comment.
Load More

spinner