Menguak Esensi Humor Pada Musik (Pop) Punk Rock

Menguak Esensi Humor Pada Musik (Pop) Punk Rock

Nggak bisa dipungkiri berkat ketenaran Blink-182 yang kayak Anang Hermansyah, tanggapan publik soal citra (pop) punk rock selalu identik dengan hal yang konyol. Padahal kalau dirunut lebih jauh lagi, DNA humor dan komedi udah nancep banget di musik tersebut

Sebagai orang yang berkutat di kancah dan pergaulan lingkar musik punk rock yang lebih poppy dan kurang “politikal”, saya kerap mendapatkan pertanyaan yang terus menghantui genre musik ini secara umum. Bodornya, parameter subjek pembanding dalam pertanyaan ini selalu menggunakan satu nama band yang sama. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini: “Kenapa sih citra musisi punk itu sering keliatan konyol dan kadang lirik-lirik lagunya pun ada yang bodor? Kayak Blink-182 gitu deh.Hufttt, see what I mean? Nggak bisa dipungkiri berkat ketenaran Blink-182 yang udah kayak bintang pop sekelas Anang Hermansyah, pemikiran banyak orang soal citra punk yang konyol jadinya terlalu melekat di benak mereka. Sebenernya nggak salah sih, toh memang dari awal kemunculannya, DNA humor dan komedi udah nancep banget di musik punk. Lumayan banyak band-band punk sebelum Blink yang udah mengimplementasikan humor ke dalam musik yang mereka mainkan, dan bahkan ke dalam citra penampilannya. Tapi ya apesnya, jenis humor ala Blink yang selalu diasosiasikan dengan musik punk. Gara-gara si Tom dan Mark.

Coba kita runut lebih jauh ke masa lalu ketika para personil Blink masih berbentuk daftar nama di buku rencana kelahiran Tuhan, sebelum roh mereka dihembuskan ke sperma ayahnya masing-masing. Di pertengahan tahun 70an menuju akhir ketika pergerakan punk rock mulai masif di berbagai belahan dunia, banyak yang mengira band-band punk di era itu semuanya penuh kebencian, agresi, dan kemarahan tak berujung. Tapi seringkali publik hanya menilai dari pemberitaan media massa saja akan karya-karya band punk di masa itu, yang mayoritas berbumbu politik dengan kental dan lugas. Padahal ada beberapa band yang memang sengaja mengimplementasikan nuansa humor ke dalam karya dan citra mereka, namun ya seperti yang saya bilang tadi, banyak orang yang tidak jeli akan hal ini. Ambil contoh Sex Pistols. Mulai dari lirik lagu “God Save The Queen” yang kental akan humor sarkas mengenai pemerintahan Inggris yang menyebalkan pada era itu, sampai repertoar Johnny Rotten yang kerap berceloteh penuh sarkasme, yang tapi kalau dipikir lagi emang bodor (lucu dalam bahasa sunda-red). Atau coba kita tengok Ramones yang beberapa lirik lagunya terkesan terlalu simplistik dan serasa ditulis oleh anak ingusan berumur 8 tahun, tapi ternyata itu adalah sebuah keputusan seni yang politikal terhadap musik punk yang mereka mainkan. Memang terkesan subliminal, tapi embrio humor-humor konyol di dalam musik punk memang sudah begeliat sejak dari masa awal pergerakannya.

Prabu Pramayougha

Setiap hari Senin sampai Jumat, Prabu Pramayougha menjalani kehidupannya sebagai seorang penulis di sebuah media musik yang berlokasi di Bandung, Di akhir pekan kalau tidak ada kendala dan keperluan keluarga, dia bermain gitar dan bernyanyi alakadarnya bersama Saturday Night Karaoke, unit poppy punk rock yang sudah pernah tur Jepang dua kali dan lagunya didengarkan oleh Fat Mike ketika dia bersepeda beberapa waktu lalu. Yep. Semua itu bukan isapan jempol belaka, bukti-buktinya ada di internet.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner