Menelisik Esensi Ruang Terhadap Pergerakan Musik/Seni

Menelisik Esensi Ruang Terhadap Pergerakan Musik/Seni

Bagaimana pun ruangan hanyalah sebuah bangunan, tidak serta merta sebuah bangunan mampu mengilhami seseorang untuk melahirkan karya seni, jika tidak ada dorongan dari dirinya untuk melahirkan sebuah karya

Ruang, sebuah kata yang sering kami dengar akhir-akhir ini jika berbicara mengenai skena musik dan seni lainnya, seperti seni rupa misalnya. Mari kita kembali lagi mengartikan sebuah ruang tersebut. Sebut saja kantor polisi. Kantor polisi adalah sebuah ruang dimana sekelompok polisi bekerja untuk mencapai visi tertentu. Jika di kantor polisi tidak ada aktivitas itu, apakah masih disebut dengan kantor polisi?

Pertanyaan itu juga yang sering dikaitkan ketika pembahasaan ruang sering dijadikan tema besar dalam beberapa diskusi. Ruang Alternatif, Ruang Seni apapun itu namanya, akhir-akhir ini menjadi sebuah barang trend yang menopang pergerakan skena, namun jika dikembalikan kepada fungsinya, apakah ruang-ruang tersebut mampu menopang beberapa kegiatan seni dan musik, misalnya.

Sebetulnya ruang seni seperti ruang musik sudah terbentuk dan lahir dari era lama, di mana beberapa seniman/musisi mampu menghidupkan ruang publik untuk dijadikan tempat mereka berkesenian/berkarya. Bukan hal yang jelek ketika ruang-ruang itu tumbuh, namun saya percaya lahirnya sebuah kemudahan akan lahir juga ‘obstacle’ lainnya, seperti dua mata pisau. Setelah lahirnya era ruang seni yang tumbuh subur di Indonesia, setelah itu apa?

Sedikit intermeso. Kembali ke tahun 1973 di Amerika Serikat. Adalah Hilly Kristal, seorang pengusaha yang hampir bangkrut dan menyerah dengan hidupnya, sampai akhirnya pada tahun 1973 bertempat di New York City, Amerika Serikat dia mendirikan sebuah bar bernama CBGB (Country, Bluegrass dan Blues), sebagai sebuah bar yang pada awalnya diperuntukan untuk para bikers nongkrong, lengkap dengan bir dan wiski yang menjadi menu utamanya.

Sampai kemudian ada sebuah band bernama Television mengajukan diri untuk tampil di bar tersebut. Hilly setuju Television tampil disana. Selanjutnya seperti yang sudah banyak orang tahu, bar itu menjadi club musik yang dikenal luas hingga menjadi legendaris, sampai akhirnya resmi ditutup pada 15 Oktober 2006. Namanya kemudian menjadi cukup identik dengan pergerakan musik punk dan rock n roll, karena beberapa musisi yang dianggap pionir di skena musik tersebut seperti Iggy Pop, Blondie, Patti Smith, Talking Heads, hingga The Ramones pernah menjajal panggung di CBGB pada era awal mereka berdiri. Bar ini bahkan pernah dibuatkan filmnya pada tahun 2013 lalu dengan judul yang sama, CBGB.

Dari New York beralih ke Jakarta dengan sebuah kawasan bernama gang Potlot. Mungkin banyak dari kita tahu jika sebuah kawasan kecil di Jakarta tersebut adalah markas grup band Slank, yang pada akhirnya menjadi ruang publik bagi banyak Slankers (julukan untuk penggemar Slank) dari seluruh Indonesia. Menariknya, para Slankers yang sering nongkrong disana juga pada akhirnya ikut tertular semangat kreatif dari idolanya, hingga tidak sedikit yang kemudian meniti karir sebagai musisi dan sukses, dari mulai grup band Kidnap Katrina dengan vokalisnya, Anang Hermansyah, Opie Andaresta, bahkan pentolan Dewa 19 Ahmad Dhani pun pada awalnya sering nongkrong di tempat itu, mengingat dirinya juga adalah perantau dari Surabaya.

Lalu kemudian beralih lagi dari Jakarta ke Bandung, untuk kembali memutar waktu pada awal tahun 2010an, saat Riko, gitaris Mocca membuka cafe kecil di jalan Ambon, Bandung bernama Beat N Bite. Sebuah tempat yang pada akhirnya cukup banyak melahirkan band-band indie Bandung lewat sebuah sesi acara open mic, yang biasa digelar setiap hari Jumat malam (biasanya Anto Arief didaulat sebagai host-nya). Beberapa kolektif musik yang sempat menjajal sesi open mic disana seperti Teman Sebangku, A.F.F.E.N, Under My Pillow, Katjie & Piering, DeuGalih, sampai Angsa & Serigala menjadi muncul ke permukaan. Nama mereka mulai diperhitungkan di ranah musik Bandung, dengan apresiasi yang cukup baik dari penikmat musik di kota yang dikenal kritis ini. Sayangnya Riko harus berhadapan dengan realita, jika perkara bersenang-senang lewat musik saja tidak cukup membuat tempat itu bertahan lama, sampai akhirnya Beat N Bite harus pamit lebih awal.

Ada semacam pola yang serupa ketika ruang ruang musik tersebut berawal dari semangat (atau mungkin rasa dendam karena kurangnya ruang untuk bermusik) si musisinya untuk membuat ruang sendiri, seperti misalnya Endah N Rhesa dengan EAR House-nya atau pun Efek Rumah Kaca dengan Kios Ojo Keos-nya. Namun beberapa tempat itu pun bisa dibilang tidak sepenuhnya memusatkan aktivitasnya untuk urusan berkesenian, karena keharusan untuk berjibaku dengan ‘bisnis’ lainnya agar tempat itu tetap ‘hidup’.

Menggaris bawahi kalimat “berjibaku dengan ‘bisnis’ lainnya agar tempat itu tetap ‘hidup’”, kita mungkin kemudian akrab dengan kompromi-kompromi yang mampir di tempat-tempat seperti itu, sampai kemudian pertanyaan di atas muncul “setelah lahirnya era ruang seni yang tumbuh subur di Indonesia, setelah itu apa?”. Karena jika urusan membuat ruang berkesenian hanya dalam konteks bangunan rasanya hal itu tidak akan berbanding lurus dengan movement dalam skenanya itu sendiri. Harus ada spirit yang sama untuk melahirkan gelombang musik/seni untuk muncul ke permukaan. Dari mulai CBGB hingga Beat N Bite yang telah tutup, kita tahu jika meski tempat itu bahkan tidak mengklaim dirinya sebagai ‘ruang bermusik’, namun toh nyatanya mampu melahirkan gelombang musik baru yang mencuri perhatian.

Atau jika menengok pada pergerakan era GOR Saparua (Bandung) atau Poster Cafe (Jakarta), pada awalnya bahkan dua tempat itu bukan ‘ruang ideal’ sebagai pusat berkesenian (dalam hal ini konteksnya musik) namun justru pergerakan indie lokal di tanah air kerap dikaitkan dengan dua nama itu. Jika anak muda ‘hari ini’ mengartikan ruang musik/seni sebagai suatu trend untuk keren-kerenan maka gelombang musik baru rasanya tidak akan lahir. Banyak namun banal. In my humble opinion, kalimat itu sayangnya harus keluar, karena cukup banyak ruang berkesenian yang meski terlihat ideal karena disokong banyak fasilitas, sayangnya tidak melahirkan apa-apa, selain hal-hal utopis tentang seni/musik Indonesia yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bahkan para pelakunya (seniman/musisi) masih cukup betah meramu karya dalam kamarnya masing-masing, dan hanya sesekali menampakan diri di ruang-ruang so called ruang seni itu. Hanya sebatas memenuhi ‘undangan’ sebagai bagian dari komunitas seni.

Bagaimana pun ruangan hanyalah sebuah bangunan, tidak serta merta sebuah bangunan mampu mengilhami seseorang untuk melahirkan karya seni, jika tidak ada dorongan dari dirinya untuk melahirkan sebuah karya. Namun, menariknya dorongan itu bisa lahir juga berkat adanya komunitas yang mampu bersinergi untuk melahirkan ‘gelombang karya’ itu tadi. Tidak lantas menghabiskan waktu untuk berdiskusi merumuskan tentang tema industrial, retro, modern, minimalis, maksimalis, (bahkan mungkin yang marxis marxis hahaha) untuk tema bangunannya, alih-alih berdiskusi akan melahirkan gelombang karya seperti apa di bangunan/ruang tersebut.

BACA JUGA - Banyak Band, Banyak Rezeki

Malik dengan nama panggung Obat Macan adalah musisi pendatang baru yang juga sudah lama berada di ekosistem skena musik independen Sukabumi & Indonesia, pendiri sebuah ruang alternatif bernama Rumah Mesra dan media musik Alternatif Mesinsuara.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner