Menelisik Biopik Musik: Memuji-muji dan Mendemistifikasi

Menelisik Biopik Musik: Memuji-muji dan Mendemistifikasi

Bicara dinamika biopik musik di Indonesia, sungguh miris. Masih kalah populer dengan biopik pahlawan—Soekarno, Habibie, Kartini. 

Dari sepengamatan saya, baru ada satu biopik musik yang pernah diproduksi di negeri ini yaitu Chrisye. Ada juga film dokumenter musikal, Kantata Takwa. Selebihnya adalah film-film musikal seperti Badai Pasti Berlalu, Duo Kribo, Slank Nggak Ada Matinya, dsb.

Barangkali terpengaruh minimnya dana, Chrisye dibuat dengan riset yang kurang memadai. Terkesan grasa-grusu. Diumumkan ke publik rencana pembuatannya pada 2016 dan filmnya telah terbit di tahun berikutnya, 2017. Bandingkan dengan Ray yang butuh 15 tahun dan Walk the Line perlu delapan tahun. Vino G. Bastian yang memerankan Chrisye konon hanya diberi waktu dua bulan guna mendalami karakter Chrisye. Berbeda dengan Rami Malek, pemeran Freddie Mercury, setahun ia habiskan belajar menyanyi dan bermain piano seraya mematangkan duplikasinya menjadi seorang Freddie, gestur dan segala tingkah polahnya.

Belum lagi, kendala ewuh pakewuh di negeri ini. Hampir mustahil untuk bereksplorasi terlalu jauh. Chrisye, misalnya, di dalam film ditampilkan sebagai sosok kelewat ideal: seorang suami sekaligus ayah pula pria sejati. Sulit membayangkan Chrisye, misalnya, gamblang muncul di film sebagai lelaki yang gemar main perempuan dan pecandu narkotika. Tak seperti Kurt Cobain di Montage of Heck saat remaja diceritakan mencoba berhubungan seksual dengan gadis keterbelakangan mental. Di Nusantara ini, besar kemungkinan hal sedemikian rupa bakal ditutup-tutupi, dianggap aib. Padahal kita semua tahu bahwa umumnya seniman dan seniwati adalah tipe anomali, tidak biasa, cenderung liberal dan emoh mengikuti etika umum, tercerabut dari pakem berpikir normal.

Bukan mengejutkan ketika akhirnya Chrisye lalu terjembab di jurang romantisme khas film picisan Indonesia.


Sumber: voinews.id

Selentingan bilang bahwa biopik Koes Plus juga Dara Puspita akan dirilis dalam waktu dekat. Mari kita tunggu apakah penggalian karakter, riset dan kesejarahan bakal cukup mendalam. Begitu pun dengan ewuh pakewuh-nya, apa berani membebaskan diri dari belenggu sosial ini. Semoga saja.

Selamat Hari Film Nasional!

Rudolf Dethu memiliki beragam profesi. Mulai dari manajer band, penulis buku, jurnalis, pengamat musik, aktivis gerakan sosial kemasyarakatan, koordinator program kesenian, sempat menjadi penyiar radio cukup lama, pun menyandang gelar diploma di bidang perpustakaan segala.

Pernah ikut menyelenggarakan salah satu festival industri kreatif terbesar di Indonesia, Bali Creative Festival, selama 2 tahun berturut-turut. Namanya mulai dikenal publik setelah turut berperan membesarkan Superman Is Dead serta Navicula.

Belakangan ini, Dethu disibukkan utamanya oleh 3 hal. Pertama, Rudolf Dethu Showbiz, band management yang mengurusi The Hydrant, Leanna Rachel, Manja, Athron, Leonardo & His Impeccable Six, Negative Lovers, dan Sajama Cut. Kedua, Rumah Sanur - Creative Hub, di mana ia menjadi penyusun program pertunjukan musik dan literatur. Ketiga, MBB - Muda Berbuat Bertanggungjawab, forum pluralisme yang mewadahi ketertarikannya pada isu kebinekaan dan toleransi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner