Menelisik Biopik Musik: Memuji-muji dan Mendemistifikasi

Menelisik Biopik Musik: Memuji-muji dan Mendemistifikasi

OK, mungkin anda tak setuju jika The Runaways terpampang di peringkat elit biopik musik dan memvonisnya buruk, silakan protes. Saya memang susah objektif jika ini menyangkut grup The Runaways. Buat saya, kuartet ini pas sekali dianugerahi cap bad ass, pejuang perempuan di kancah hard rock di era nan misoginis. Pun dandanannya keren. Jadinya, apa pun kabar soal mereka—apalagi ini bentuknya biopik musik—saya (hampir selalu) pasti suka. 

Membuat biopik pastinya butuh riset dengan kejelian tinggi, amat menguras waktu dan tenaga, dan umumnya berujung pada besarnya biaya yang timbul. Selain itu, ada kecenderungan pada pemujaan berlebih pada sosok yang sedang dikisahkan. Seperti di Bohemian Rhapsody, Freddie Mercury tersimak sebagai sosok protagonis, peduli pada lingkungan sosial sekitar. Atau, profil Ian Curtis yang digambarkan oleh Anton Corbijn sebagai sosok rapuh namun tak menyebalkan, penonton bisa digiring menjadi simpati padanya. 

Norman J. Sheffield, pemilik Trident Studios, tempat direkamnya album pertama Queen, Queen, pernah bilang di Daily Mail pada 2013 bahwa Freddie merasa dirinya seperti Tuhan, lalu belakangan sikapnya pun layaknya Tuhan, berkuasa penuh.

Deborah Curtis, istri mendiang Ian Curtis, kala diwawancara The Guardian pada 2005, 25 tahun sejak bunuh dirinya Ian, menggolongkan suaminya itu sebagai tipe dominan dan cukup otoriter, bertindak menjadi penentu keputusan dalam relasi mereka. Sedikt berbeda dengan kesan yang didapat orang di Control lewat gesturnya yang cenderung introvert, pasif, seolah lebih suka mengalah. Belum lagi skandal selingkuh Ian dengan jurnalis asal Belgia, Annik Honoré, kala Deborah baru saja melahirkan putri mereka, Natalie.

Biopik memang cenderung memberi sang tokoh singgasana protagonis. Jika pun kekurangannya diungkapkan biasanya dengan halus digradasi abu-abu, sekadar khilaf, bahwa ia manusia biasa, sepantasnya diberi maaf.

Buzz Osborne salah satu yang menyorot aspek “digradasi abu-abu” ini. Film dokumenter Kurt Cobain: Montage of Heck dituduhnya sebagai 90% omong kosong. Ia yang kenal dekat dengan Kurt merasa apa yang dijabarkan di film terlalu berlebihan. Kurt memang dahulu tergolong remaja badung dan pemberontak, namun penggambaran di film bahwa Kurt sebegitu rapuh hingga pernah mencoba bunuh diri sebelumnya dengan membaringkan dirinya di rel kereta api, adalah total bohong. Menurut Buzz, Kurt sebagaimana remaja kebanyakan, bandel serta gemar membuat kegaduhan dan tiada yang aneh dengan itu. Montage of Heck sekadar memistifikasi Kurt Cobain. Maka itu lebih klop digolongkan sebagai biopik, bukan dokumenter, akibat kebanjiran dramatisasi. 

“If people want to believe it and think he was capable of doing all those things, that’s their problem. But, I am not going along with it,” kata Buzz sinis.

Rudolf Dethu memiliki beragam profesi. Mulai dari manajer band, penulis buku, jurnalis, pengamat musik, aktivis gerakan sosial kemasyarakatan, koordinator program kesenian, sempat menjadi penyiar radio cukup lama, pun menyandang gelar diploma di bidang perpustakaan segala.

Pernah ikut menyelenggarakan salah satu festival industri kreatif terbesar di Indonesia, Bali Creative Festival, selama 2 tahun berturut-turut. Namanya mulai dikenal publik setelah turut berperan membesarkan Superman Is Dead serta Navicula.

Belakangan ini, Dethu disibukkan utamanya oleh 3 hal. Pertama, Rudolf Dethu Showbiz, band management yang mengurusi The Hydrant, Leanna Rachel, Manja, Athron, Leonardo & His Impeccable Six, Negative Lovers, dan Sajama Cut. Kedua, Rumah Sanur - Creative Hub, di mana ia menjadi penyusun program pertunjukan musik dan literatur. Ketiga, MBB - Muda Berbuat Bertanggungjawab, forum pluralisme yang mewadahi ketertarikannya pada isu kebinekaan dan toleransi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner