Mencoba Realistis Dalam Realita Industri Musik Nusantara

Mencoba Realistis Dalam Realita Industri Musik Nusantara

Di negara ini tidak semua musisi sebersinar dan seberkualitas Iwan Fals serta Danilla misalnya. Cukup banyak musisi serius yang pada akhir hayatnya ‘terpaksa’ di ‘charity’ kan, karena masalah keuangan 

Saya begitu takjub melihat playlist Spotify anak perempuan saya yang baru berusia 12 tahun, berisikan deretan lagu dari masa lalu, utamanya dekade 60’s dan 70’s. Begitu dalam dan serius sekali dia menekuni latar belakang proses pembuatan lagu-lagu hit dari The Beatles, Led Zeppelin, The Doors, Jimi Hendrix, The Rolling Stones, Jefferson Airplane, hingga Fleetwood Mac. Anak ini menangis sesenggukan ketika Charlie Watts meninggal dan kala kami sedang mendengarkan lagu-lagu The Yardbirds dalam sebuah perjalanan ke luar kota, dengan lancarnya anak saya bercerita bagaimana Eric Clapton merebut istri George Harrison, Pattie Boyd, di mana saat Eric dan Pattie menikah, George berbesar hati mau menjadi best man nya Eric. Sungguh sentimentil!

Lalu bicara selera musik anak laki-laki yang baru berusia 5 tahun – dari ibu yang berbeda – ternyata sama dengan kakaknya. Mereka berdua sama-sama Zepheads (sebutan penggemar Led Zeppelin), Beatle Mania (panggilan fans The Beatles), dan Stoners (julukan penyuka The Rolling Stones). Alangkah kagetnya saya ketika mereka berdua humming intro “Kashmir”, kemudian bersenandung part reff-nya “Black Dog”, lalu meniru suara intro gitar “Paint It Black”, dan “You’ve Got To Hide Your Love Away” The Beatles. Gila.

Sebagai seorang bapak, tentunya ada rasa kebanggaan tersendiri melihat kedua anaknya memilih band-band dan musisi di atas sebagai selera mereka. Namun saya berulang-ulang selalu mengingatkan mereka melalui bahasa yang sederhana, mengenai pandangan saya terhadap industri musik di negeri ini yang iklimnya berbeda dengan di luar sana. Bukannya menghalang-halangi, juga bukannya kuno, saya yang terbilang gagal kala mencoba peruntungan di bidang ini, tentu saja tidak ingin hal tersebut terulang kembali terhadap keturunan saya.

Tidak perlu melihat contoh jauh-jauh, cukup lihat ke diri sendiri, lalu sekitar, bahwasanya profesi musisi pada zaman sekarang yang semakin tidak menentu, kita harus realistis. Jangan sampai membahayakan generasi penerus kita. Karena cukup banyak teman-teman se-angkatan yang habis-habisan di musik, akhirnya terdampar di lembah kesuraman karir, hingga akhirnya mereka banting setir di usia yang sudah tidak muda lagi. Ada juga yang bela-belain menjalani dua profesi, musisi iya, bekerja di perusahaan orang lain juga dilakoni. Jadinya tidak ada yang maksimal. Utamanya terhadap penghasilan mereka. Bukannya saya memberhalakan uang, namun pada prinsipnya sebaiknya kita jangan sampai membahayakan nasib generasi penerus, kegagalan kita adalah pagar mereka dalam bertindak.

Dengan mendampingi anak sebagai teman bertukar pikiran berbagai kegemaran mereka, entah itu untuk membahas sound, lirik, gaya hidup musisi idolanya, dan segala sejarah seru industri ini adalah obat imun yang baik bagi kita maupun mereka. Hal ini akan semakin membuka jendela wawasannya, bahwa suka musik tidak harus jadi musisi, anak-anak ini kita bantu arahkan cara pola berpikirnya, bahwa ada tiang-tiang penyangga yang vital dalam industri musik, seperti record companies, music publishing companies, artist management, tour manager, booking agent, recording engineer, hingga music producer yang dapat dijadikan profesi dan tetap berkaitan dengan musik. Tentu saja jika cikal-cikal yang akan melakoni pekerjaan di atas menjadi bertambah banyak, ekosistem musik di negeri ini akan semakin legit dan naik kelas.

Di negara ini tidak semua musisi sebersinar dan seberkualitas Iwan Fals serta Danilla misalnya. Cukup banyak musisi serius yang pada akhir hayatnya ‘terpaksa’ di ‘charity kan, karena masalah keuangan yang sudah mulai ‘tidak bersahabat’ pada usia senja mereka. Tahu kapasitas diri itu lebih penting ketimbang memaksakan kehendak. Saya kembalikan kepada teman-teman pembaca, arti dari keseluruhan artikel ini. Bebas, terjemahkan saja menurut versi masing-masing. Yang pasti ini untuk kebaikan bersama, dan tentu saja berkaitan dengan musik.

Nicko Krisna

Bermusik bersama Peanuts dari tahun 1996 - 2001, dengan Joga dari 2002 - 2004, kemudian bergabung dengan Amazing in Bed dari 2007 hingga 2011, lalu di tahun yang sama melanjutkan hobi seni musiknya dengan Poniland yang hanya seumur jagung, yakni 3 bulan, dan berakhir di grup Nick, yang dia bubarkan pada tahun 2019. 

Sekarang Nicko Krisna fokus dengan bisnis Production House dan Digital Agency bernama Visual Nusantara, yang ia dirikan bersama sahabatnya, Hendra New Market, di akhir 2020.

Diskografi:
- This is Bandung Compilation - 1999 Red Wine Records (Executive Producer) Menyumbang 2 lagu dengan Peanuts: Kupu-Kupu Malam, Nyawaku Nyawanya, dan 1 lagu dengan Alm Her Kapal Terbang: Manusia Tanpa Hati
- s/t - Joga - 2004 MS Production
- Amazing in Bed - Amazing in Bed 2008 Huria Records
- Sky Vs Sky - Nick 2013 Ghost Records
- Frekuensi - Nick 2017 Ghost Records

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner