Menangkap Mat Peci via Bendi Harmoni

Menangkap Mat Peci via Bendi Harmoni

“Kijang satu .. Kijang satu, melaporkan bahwa saudara Mat Peci telah bisa dilumpuhkan kota Bandung kini menjadi aman, sekian laporan terima kasih.”

Sengaja di awal tulisan ini saya hadirkan penggalan akhir lirik dari lagu Bendi Harmoni yang berjudul "Mat Peci". Menutup cerita dari sebuah perjalanan sang buronan paling dicari pada era '70an. Mendengarkan sebuah kisah dari jalanan lewat sebuah lagu menggiring saya untuk berkelana dan berfantasi sejenak membayangkan gentingnya kondisi saat itu.


Rachmat Hidayat saat muda yang memerankan Mat Peci | Sumber: boombastis.com

Masyarakat Indonesia pernah dilanda gundah lantaran seorang penjahat bengis bernama Mat Peci yang keberadaan meresahkan dengan aksi-aksi kriminalnya. Kalau teman-teman searching di Google, namanya sampai saat ini masih disebut sebagai salah satu penjahat legendaris di Indonesia. Bahkan kisah hidupnya sampai diangkat ke layar lebar. Mari kita mulai menangkap Mat Peci lewat syair lagu dari band folk steady bernama Bendi Harmoni.

[pagebreak]

"Inilah kisah dari jalanan tentang seorang pemuda terpandang."

Kisah ini diadaptasi dan diangkat berdasarkan kisah nyata (based on true story). Mamat alias Mat Peci lahir di Leuwigoong (dulu kecamatan Leles), Garut. Sang bandit legendaris ini dikabarkan berasal dari keluarga terpandang. Ia mencintai seorang gadis bernama Euis. Sayang, kedua orang tua Euis tidak merestui hubungan mereka, setelah lamarannya ditolak akhirnya Mat Peci memutuskan untuk pergi merantau.


Mat Peci dan Euis di kampung halaman | Sumber: tangkap layar YouTube

"Cinta tak direstui dia tetapkan hati pergi merantau unjukan diri."

Hidup di perantauan melahirkan ide yang tidak baik bagi Mat Peci. Mengarungi dan menyelaminya untuk sekadar bertahan hidup dengan segala kondisi yang kerap memunculkan berbagai macam risiko. Semangat daya hidup menjadikannya sebuah ladang garap agar istilah ‘mengadu nasib’ tidak hanya menjadi slogan yang selebihnya hanya bisa menjelma menjadi harapan, lebih jauh dari itu menjadi penghasilan. Nyali aja ga cukup, kudu di sanguan. Akhirnya Mat Peci memilih jalan gelap ini.

"Pergi ke kota menjadi mafia dengan ilmu yang dimilikinya."

Mat Peci ingin mengubah nasibnya agar kelak mendapatkan restu dari orang tua Euis. Sebelum tiba di Bandung, Mat Peci sempat melakukan tindak kriminal di beberapa kota, salah satunya di Cirebon. Setibanya di Bandung, Mat Peci tak langsung menjadi penjahat. Awal-awal menetap di Kota Kembang, dia sempat menjadi calo karcis di salah satu bioskop di bilangan Cicadas. Singkat cerita, penghasilan dari calo karcis tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Mat Peci mencoba untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan banting setir menjadi seorang penjahat.

Seiring berjalannya waktu, Mat Peci si jago tembak pun menjelma sebagai penjahat berbahaya. Demi memenuhi kebutuhannya, dia tak segan untuk melukai dan melenyapkan korbannya. Dari sinilah ia menjadi lebih akrab dengan penjara. Hukuman di balik jeruji tidak membuatnya insyaf, namun sebaliknya, perbuatan jahatnya semakin menjadi dan tak tertahankan. Ia kerap mempelajari ilmu-ilmu hitam dari sesama tahanan. Setiap keluar, ia menjadi seorang bandit yang susah ditangkap, karena memilki ajian-ajian gaib.

[pagebreak]

"Padahal ia sedang bercinta dengan kekasih masa kecilnya."

Sepeningalnya Mat peci dari kampung halamannya, Euis dijodohkan lalu dinikahkan oleh orang tuanya, dengan anak seorang haji. Namun, malang nasib Euis pada malam pertamanya diketahui sudah tidak perawan menurut sang suami. Malam itu juga Euis diceraikan. Keesokan harinya, Euis diusir dari rumah oleh ayahnya. Euis pun pergi ke Bandung dan mendapat pekerjaan di sebuah tempat prostitusi di bilangan Cicadas. Secara kebetulan bertemu Mat Peci di tempat tersebut dan keduanya saling mencurahkan isi hati dan saling bercerita tentang hari-hari yang telah mereka berdua lalui.


Mat Peci dan Euis saat berjumpa di tempat prostitusi | Sumber: tangkap layar YouTube

"Perintah tembak mati tak lama menghampiri untuk sang buron paling dicari."

Pada awal tahun 1978 menjadi akhir dari kejahatan dan pelarian baginya. Belum sempat beraksi, satu persatu temannya diciduk polisi. Mat Peci lolos dari baku tembak saat akan ditangkap oleh aparat, lalu dibawa kabur oleh salah satu temannya untuk bersembunyi di rumah mantan istrinya di daerah Ngamprah, Padalarang. Saat intelejen dari kepolisian mengejar ke sana, ternyata Mat Peci sudah tidak ada di tempat. Seorang saksi memberitahu bahwa ia telah pergi ke Garut.


Perintah tembak mati | Sumber: pixabay.com (Alexas_Fotos)

Tak lama kemudian, di sebuah stasiun kecil bernama Leuwigoong, Mat Peci sedang melamun, mengingat masa lalunya, seketika ia dikejutkan dengan kehadiran intelejen yang sedang memburunya. Terjadi baku tembak yang sangat sengit. Mat Peci tewas ditembak dengan 14 butir peluru yang bersarang di tubuhnya.

“Kijang satu .. Kijang satu, melaporkan bahwa saudara Mat Peci telah bisa dilumpuhkan kota Bandung kini menjadi aman, sekian laporan terima kasih.”

Sendy Novian. Hidupnya yang (nomaden) kini sudah menemukan tambatan hatinya. Mau pensiun dini jadi vokalis di Parahyena, cukup bermain guitalele aja. Masih aktif bermain perkusi di Syarikat Idola Remaja dan kini menjabat bendahara blok perumahan di bilangan Rancaekek.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner